Wednesday, November 12, 2008

How To Give Her Ending?

“Bagaimana caranya melupakan rasa sakit yang begitu dalam?”
“Seberapa dalam lubang yang telah tercipta itu? Seberapa dalam?”
Dia menggeleng. Dia tak tahu, dia terlalu bingung untuk merasakannya. Rasa sakit itu tercipta, telah lepas dari kendali hatinya. Dia tak pernah menginginkan ada lubang yang besar yang merobek-robek sampai ke bagian dasar hatinya.
“Umpamakan…, lubang itu sebesar apa?”
“Besar sekali…,” dia jawab dengan sangat merana.
Lalu lawan bicaranya menghembuskan napas berat. Dia menatap lawan bicaranya, tampak ada kebingungan dan keinginan untuk menyudahi pembicaraan tak berujung ini. Sebenarnya dia juga ingin seperti ini, tapi dia tak bisa. Dia tak sepandai lawan bicaranya itu, dia terlalu lemah karena dianggap terlalu kuat.
Sekarang, telinganya terasa begitu peka, matanya terasa begitu tajam, hatinya terasa begitu rapuh, ketika melihat segala hal yang berkaitan dengan sosok yang membuat luka parah di hatinya.
Matanya memancarkan sinar keinginan yang begitu membara. Dia menatap lawan bicaranya. Tangannya bergerak lalu menguncang-guncang tubuh lawan bicaranya itu, dengan kemeranaan di atas segalanya dia berbicara,
“Tolong… tolong bawa aku pergi, ke mana saja. Ambil… semuanya. Hidup, semuanya,” ujarnya penuh duka.
Lawan bicaranya menggeleng pasrah. “Ke mana? Bagaimana? Untuk apa?”
Dia mendesah, wajahnya menunduk, hatinya tercabik-cabik lagi. Untuk segala bentuk pertanyaan, tak ada satu pun yang bisa dijawab. “Kenapa?” dan dia memilih bertanya kenapa. Ya, karena ‘kenapa’. Semuanya berawal dari kata tanya yang begitu mempunyai kekuatan magis, yang membuat hatinya menunggu bagai hewan kelaparan, tapi tak ingin menanyakan lagi ketika mendengar jawaban dari segala rasa penasarannya.
Dia begitu merana dan sakit hati. Tahukah itu? Dia menginginkan seseorang mengetahuinya tapi tak mungkin ada yang tahu rasa apa yang singgah sekarang ini. Rasa yang dia yakini, tak ingin dirasakan setiap makhluk di dunia. Karena rasanya membuat dia terlalu miskin untuk membayar.
Lawan bicaranya menatapnya lagi, dengan 1001 kebimbangan, tapi dia tak mengutarakan semuanya. Dia balas menatap lawan bicaranya, tak ada kata-kata yang cukup pantas untuk diucapkan, yang mewakili segala rasa di hatinya—tak ada.
Jantungnya kini berdegup kencang setiap saat, merasa peka seribu kali lebih parah dari yang pernah dia rasakan kini. Menyiksa dirikah dia? Dengan membiarkan lagu kesukaannya disengaja mengalun terlalu kencang di dekatnya? Dengan membiarkan dirinya disakiti lebih dalam lagi?
Semuanya, terasa begitu menyatu dan melekat. Untuk setiap hal yang dia lakukan dan dia lihat, seolah seperti tiba-tiba menyindirnya begitu keras.



***

2 comments:

Hansel said...

oh...

saya tidak begitu mengerti
kata-kata yang begitu dalam untuk seorang novelis muda

dan sedangkan saya hanyalah oang biasa yang tidak mengerti sastra

Anonymous said...

Suka kosakatanya !

Nice !