Friday, March 27, 2009

Psychopath

Menulis adalah salah satu bagian terindah dalam imajinasi. ^^
------
"Her feelings she hides.
Her dreams she can't find.
She's losing her mind.
She's fallen behind.
She can't find her place.
She's losing her faith.
She's fallen from grace.
She's all over the place."


------ -------
Rose, Rose!

Hatinya terbelenggu, terikat. Lihat raut wajah itu, penuh penderitaan, ketakutan, depresi. Wajah itu nyaris menangis, sedih rasanya. Matanya sembab, rambutnya acak-acakkan, dia menggenggam sesuatu, mirip seperti punyanya. Esther ingin sekali menolong Rose. Tapi dia tidak tahu caranya, tidak ada yang mau membantunya. Glenn juga tidak mau.
Dia tersiksa. Rose juga tersiksa. Jarak mereka begitu dekat, namun Rose terasa begitu jauh untuk disentuh, digapai. Lagipula, dia tidak bisa merasakan kulit Rose yang hangat, yang kadang basah oleh air mata. Dia tidak bisa.
Dua tahun. Esther menunggu dua tahun lamanya, sia-sia saja, dia tak pernah bisa memeluk Rose walau dia mampu melihatnya. Dia tidak dapat berbuat apa-apa, walau Rose menangis, dan sorot matanya begitu kelelahan.
Lou, kekasih Rose, menghilang dari hadapannya. Dia bingung, bagaimana menghubungi Lou.
"Esther," seseorang memanggilnya.
Dia menoleh, ketakutan, seluruh tubuhnya seperti bergetar, dia juga merinding. Dia benci sensasi ini, tapi dia takut sekali. Dia takut ada yang mengambil Rose darinya.
"Esther, ini Glenn."
Lega rasanya mendengar nama Glenn berdengung di telinganya. Dia hampir-hampir tidak bisa lagi membedakan suara orang. Dia takut lambat laun dia akan melupakan Glenn karena yang terngiang di telinganya hanyalah suara teriakan Rose, tangisan Rose, dan kebisuan Rose. Rose. Selalu dia. Tapi Rose tidak marah kalau ada Glenn.
"Sayang, Esther, kemarilah," suara lembut Glenn membelai telinganya.
Dia maju memeluk Glenn, meninggalkan Rose di tempat tidur kamarnya. Air mata itu keluar lagi, tak mampu dibendung, selalu muncul kalau Glenn ada.
"Glenn....," rintihnya.
"Aku tahu, aku tahu. Esther, bisakah kita bicarakan hal lain saja?" tanya Glenn.
Apa itu hal lain? Hal lain apa? batinnya. "Glenn, Rose..."
"Rose sudah lama meninggal..."
Meninggal! Lagi! Glenn telah buta! Rose ada di sini! Di tempat tidurnya, dia meraung frustasi di dalam hati.
Esther menggeleng. "Glenn, tolong. Kamu harus selamatkan dia. Aku sayang Rose. Dia terkunci..."
Glenn menyentuh hidungnya, Glenn selalu memperlakukannya seperti anak kecil, sabar sekali. Tapi Glenn tidak mau membantu Esther. Glenn tidak mau. Karena apa?
"Hm..., tahu tidak Esther? Aku bertemu dengan seseorang di taman, dia pintar melukis. Lukisannya bagus sekali," Glenn bercerita.
Tapi Esther tidak menghiraukannya. Dia menunduk, menangis lagi dalam diam. Dia tidak ingin putus asa, Glenn orang yang baik dan dia akan menolong Rose, dia yakin sekali. Tapi Glenn masih belum mau sekarang, hanya belum mau.
"Lukisan?"
Glenn tampak bersemangat ketika dia bertanya, dia menemukan kuncinya. "Ya! Lukisan tentang sunset, warna orange, hitam, laut, matahari. Indah sekali," Glenn tersenyum, senyumnya menyejukkan. Kalau Rose melihatnya, dia pasti bisa tersenyum juga. Tapi sayang, dia tidak tahu ke mana Rose kalau Glenn muncul.
"Benar, ya? Ada lukisan indah?" tanya Esther, ingin menunjukkan kalau dia berusaha menarik perhatian Glenn.
"Ya, ada. Tapi ada yang asli, Esther," ujar Glenn.
"Asli?" dia membeo tanpa memperhatikannya benar-benar.
"Kamu bisa melihatnya di pantai, kalau sore, saat matahari terbenam," Glenn makin antusias.
"Ajak Rose, ya?" tanya Esther bersemangat.
Glenn langsung murung.
"Glenn?"
Glenn menatap matanya. "Tidak bisa."
"Kenapa?" apa kamu membenci Rose, Glenn?
"Rose bisa melihatnya dengan caranya sendiri."
"Tapi aku mau bersamanya!"
"Aku bisa mengajakmu kalau kamu melepaskan Rose dari pikiranmu," Glenn mengajukan syarat, "Rose meninggal, Esther. Sadari itu, dan lepaskan dia," dan syaratnya susah bagi Esther.
Dia kembali menangis. Glenn memeluk tubuhnya, bagi Glenn, tubuh itu amat rapuh. Bagi Esther, tubuh Glenn bisa menyelamatkan Rose dari bayang-bayang kesedihan. Esther bisa merasakannya, tapi Glenn tidak.
******
"Di mana Lou, Rose?" dia ingin menemukan Lou secepatnya.
Tapi Rose tidak menjawabnya, atau dia tak bisa mendengarnya? dia tidak tahu. Esther ingin melihat Lou lagi.
Kata Glenn, sudah 2 tahun 5 bulan. Entah maksud Glenn apa. Tapi Glenn bilang Lou sudah sembuh. Ternyata Lou sakit. Jadi ada kesempatan baginya untuk memberitahu Lou bahwa Rose amat merana, sangat. Dan Lou pasti membantunya, karena Lou sayang pada Rose.
Pintu terbuka. Dia terkejut. Lou, Lou, Lou, batinnya bersorak girang.
"Lou!!" serunya.
Lou amat tenang berdiri di ambang pintu. Dia maju perlahan mendekat pada Esther. Tak ada seulas senyum dari Lou. Wajah Lou tegang, tapi tampaknya juga datar. Dia tak peduli bagaimana raut wajah Lou, yang penting, dia tahu Rose akan bebas, karena ada Lou.
"Lou?" dia berbisik takut, dia takut karena Lou begitu menyeramkan.
Samar-samar Lou tersenyum. Hatinya sedikit lega.
"Halo, Esther," sapa Lou.
Lou duduk di dekat Esther. Memandangnya sejenak, lalu tersenyum kecil lagi. Penampilan Lou amat rapi, tapi Lou jadi terlihat kurus sekarang.
"Lou..., apa kabar?" tanya Esther.
"Kamu bunuh Rose, ya," ujar Lou.
Esther tersentak. "Lou?"
Dia merasa pusing. Pusing sekali. Kepalanya berdenyut-denyut sakit, seperti yang sering terjadi, tapi kali ini dia tak mampu mengatasinya.
"Kamu bunuh Rose," itu pernyataan. Dari Lou.
"Bukan," jawabnya.
"Esther bunuh Rose. Esther bunuh saudaranya," Lou tersenyum.
Esther semakin pusing. Kilasan-kilasan itu, bayang-bayang itu, hantu masa lalunya, menyergapnya hingga kehabisan napas. Dia tersungkur di lantai kamarnya, tapi Lou tetap duduk di kursinya dan tertawa kecil.
Dia ingin minta tolong, tapi dia tahu tidak ada yang bisa menolongnya. Wajah Rose..., suara Rose, teriakan Rose. Dia ingat. Ingat semuanya hingga ingin dilupakannya.
Rose meninggal. Rose meninggal. Tapi bukan dia yang bunuh. Bukan.
******
Glenn terdiam. Dia memandang wajah Esther yang sedang tidur, di ranjang rumah sakit. Wajahnya tenang dan tak ada raut kesedihan. Hanya saja lingkaran hitam di bawah matanya terlihat amat jelas. Glenn benar-benar sayang pada Eshther, tapi dia tak tahu, kapan Esther bisa membalas rasa sayangnya itu dengan normal.
"Glenn...," panggil Fiona, ibu Esther.
"Ya," jawabnya datar.
"Sabar sekali...," keluhnya.
"Lou mana?"
"Menghilang. Polisi masih mencarinya."
"Kenapa?"
"Dia kabur dari tempat rehabilitasi. Dokter Er meneleponku, Lou menyuntik salah satu psikiatri dengan obat bius, secara paksa."
"Ya, Tuhan."
"Dia kembali dan dia bilang dia sudah sembuh, dia bilang itu padaku, Glenn. Melihatnya begitu stabil, membuat kepercayaanku bangkit. Satu-satunya yang timbul dalam benakku adalah Lou dapat membantu Esther."
"Esther berteriak kemarin. Katanya dia yang bunuh Rose. Dia memecahkan cermin itu. Lalu dia melihat wajah Rose hancur. Esther langsung pingsan," kata Glenn.
"Ayahnya ingin dia dirawat di rumah sakit jiwa, Glenn. Aku bingung," desah Fiona.
"Mungkinkah hanya itu jalan terbaik?" tanya Glenn, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia tak bisa melepaskan bayangan Rose. Sulit baginya, pasti. Rose kembarannya. Mereka sama persis. Dengan melihat cermin, Esther beranggapan Rose terkurung."
"Ya, aku tak punya cara lain. Aku tidak tega berkata Rose sudah meninggal...," Fiona nyaris menangis.
"Tapi kamu tidak ingin kehilangan jiwa Esther juga, kan? Esther harus diselamatkan. Pikirannya selalu mengatakan Rose menderita, Rose terkurung, semuanya. Kenapa tidak mencoba membawanya ke rumah sakit? Hidupnya masih panjang. Dia akan sembuh, dia hanya butuh waktu," terang Glenn.
"Rose dan Esther mempunyai ikatan jiwa yang kuat. Mereka kembar yang identik seluruhnya. Jiwa dan pikiran mereka sama. Esther terpuruk karena kematian Rose. Dia tak pernah sendirian, Rose selalu menemaninya."
"Aku tahu."
"Dengan melihat cermin, dia seperti melihat Rose. Kamu tidak tahu bagaimana aku shock kala itu," Fiona sudah menangis.
Glenn tersenyum sedih, "Dia bilang padaku Rose sangat ketakutan, sedih, dan merana. Estherlah yang merana sebenarnya," Glenn membenamkan wajahnya pada kedua tangan. Sedih rasanya.
Sedih melihat Esther kehilangan akal sehatnya. Marah karena Lou datang membuat Esther makin terganggu dengan ucapannya yang sembarangan. Tapi dia tahu, kematian Rose karena Lou. Itulah sebabnya Lou menjadi gila dan dirawat. Hanya saja, kematian Rose begitu mempengaruhi hidup Esther, sehingga dia menderita depresi.
"Pulanglah, temani Esther. Tinggallah di sini dan jangan biarkan dia semakin menderita," pinta Glenn.
Fiona mengangguk. "Ya. Aku menyesal membiarkannya sendirian di sini, sementara aku pergi ke Chicago untuk melupakan rasa terpurukku...."
Jari-jari tangan Esther bergerak ketika Glenn sedang menggenggamnya.
"Esther?" panggil Glenn pelan.
"Glenn...,"
"Ya?"
"Aku gila, ya?"
*******

Cerita ini terinspirasi dari : Nobody's Home--Avril Lavigne.

Wednesday, March 25, 2009

God can't stop loving you.
Yes, I have love i with an everlasting love; therefore with loving kindness I have drawn u.
God can't abandon u.
Be strong and of good courage, do not fear nor be afraid of them; for the Lord ur God, he's d one who goes with u. He won't leave you nor forsake you.
God can't make a loser.
Now thanks to God who always leads us.
God can't remember sins he's chosen to forget.
I, even I, am he who blots out ur transgressions for my own sake; I won't remember ur sins.
God can't be prejudiced.
In truth I perceive that God shows no partiality. But in every nation whoever fears him and works righteousness is accepted by him.
God can't break a promise.
My covenant I won't break, nor alter the word that has gone out of my lips.
God can't get tired.
Have u not known? Have you not heard? The everlasting God, the Lord, the Creator of the ends of the earth, neither faints nor is weary.

Well, how great is our God.!

Tuesday, March 24, 2009

Redemption

Sejenak, aku punya cerita singkat.

Lampu disko gemerlap, terang-redup, warna-warna sekilas menyilaukan mata. Ah, di sinilah. Di sini tempat orang yang tak mengenal saling mengenal, tempat orang yang tak peduli siapa kamu dan dari mana kamu berasal, tempat yang sangat cuek, sekaligus hangat, ramah.
Lalu, mata elang itu begitu berbahaya mengintai mangsa. Gadis-gadis cantik, tua-muda, pakaian serba minim atau hanya sekedar gaun, seolah-olah menyiram wajahnya dengan air yang sangat dingin, membukakan setiap kelopak mata yang tertutup, tapi juga melilit otak.
Lagi-lagi, pikirannya menyela. Benar, ya, tujuannya bukan mengintai mangsa, tapi memburu mangsa yang telah kabur. Sialnya, kenapa matanya tak bisa tidak melirik yang lain, atau dia memang orang brengsek, yang menggunakan kata-kata klise seperti; ah, pria juga manusia. Berkaitan dengan teori itu, dia toh juga tidak benar-benar ingin melakukan yang lebih daripada sekedar melihat--setidaknya bukan sekarang.
Dia meremas rambutnya, nyaris stres atau malah sudah depresi, dia masih sulit membedakannya. Pikirannya berkecamuk antara, dia pasti sudah gila mencari gadis baik-baik di bar, tapi masalahnya, matanya melihat gadis itu bersama orang lain masuk ke dalam bar, bar ini. Tidak mungkin mata yang terlatih melirik gadis-gadis itu bisa salah melihat gadis!
Ada yang menyentuh bahunya, dia sedikit tersentak, lalu menyamarkan ekspresinya. Dilihatnya gadis itu dengan gaun merah yang panjangnya setengah di atas lutut, duduk di sampingnya dengan sangat terlatih, lalu tersenyum dengan ekspresi yang sudah dia tahu bahwa senyumnya itu memikat.
"Sendirian?" tanyanya, gayanya anggun.
"Nanti saja," katanya masih frustasi.
Gadis itu tertawa kecil, tak percaya dirinya ditolak mentah-mentah. "Ada apa denganmu, Dennis? Rasanya jarang melihat seorang playboy sialan sepertimu meratapi diri di bar?"
"Pergilah, Sheil. Nanti saja aku memanggilmu," ujarnya tak menatap gadis rupawan itu sama sekali.
Gadis itu mendorong bahu Dennis dengan gemas. "Sialan kamu, Dennis. Begitukah caramu memperlakukan aku? Siapa yang sedang diratapi? Dirimu, atau gadis lain? Yang mana lagi? Apa aku benar-benar tidak memegang piala jenis apa pun di hatimu, hah?"
Dennis diam, Sheila semakin marah.
"Dennis!"
"Aku mau mencari gadis lain. Sudah bosan," katanya dingin.
Dia pergi, tak peduli gadis tadi mendesis, menyumpah-nyumpah entah apa yang dikatakannya.
Celena, Celena, maafkan aku, batinnya meraung frustasi.
Tidak salah lagi, dia benar-benar melihat Celena sekarang, beberapa jarak di depannya, bersama seorang yang lain, dia tidak tahu, tapi mereka bergandengan tangan.
Rasa marah menggantikan rasa frustasinya, Dennis mengikuti.
Dia bosan, melihat cowok itu membelai rambut Celena, sesekali menatap ke arahnya, tatapan itu jelas sekali, sepertinya cowok itu ingin memakan Celena. Pikirannya membuat Dennis makin geram.
Tibalah saat dia harus mengejar Celena dengan taksi ketika cowok itu membawa Celena ke tempat kosnya dengan motor. Amarah diredamnya sedemikian rupa, banyak sekali yang ingin dilontarkannya pada Celena, lebih-lebih dia ingin menjelaskan sesuatu.
Dennis mengakui dia memang brengsek, dia memang mudah mencintai gadis-gadis mana saja. Itulah dia, Celena hanya tidak bisa menerimanya. Tapi Waris menyadarkannya, sahabat itu mengetahui bahwa dirinya menyukai Celena lebih daripada yang lainnya. Dan cemburunya tadi memang beralasan, bukan buta.
Dia telah sampai, tapi Celena dan cowok itu sampai lebih dulu, bedanya sang cowok belum pulang dan sepertinya menahan gadis itu untuk masuk ke dalam. Dennis marah lagi, tidak tahan rasanya.
Tapi kali ini dia punya alasan untuk keluar dari taksi dan menyerang cowok itu dengan ganas, Celena menolak menciumnya, tapi cowok itu memaksa.
"Dennis!" seru Celena.
Dia tak peduli terkena tinjuan balasan, yang penting dia bisa melampiaskan amarahnya. Apalagi korban pelampiasannya jatuh tepat sasaran, kalah telak, kabur lagi.
"Celena," panggil Dennis terengah-engah.
"Aku bisa membuatnya pergi baik-baik tanpa harus memukulnya," geram Celena dingin.
"Jangan bahas itu."
"Jangan memerintah aku."
"Kenapa kamu pergi dengan dia?!" sembur Dennis kesal.
"Apa urusannya?"
"Celena, tolonglah," rasa-rasanya dia jadi semakin frustasi.
"Apa, Dennis?"
"Maaf."
"Lupakan."
"Apa?"
"Tidak apa-apa. Selamat malam."
"Tunggu," Dennis mencekal lengannya.
Celena merintih, tapi Dennis tak melepasnya. Gadis itu memandangnya sengit, "Apa ada Dennis yang lain yang akan membantuku menghajarmu?" serangnya dingin.
"Celena, apa yang membuatmu begitu marah?"
"Apa menurutmu aku tidak berhak marah?"
"Apa kamu selalu membalas pertanyaan dengan pertanyaan lagi?"
"Tapi yang kutanyakan benar, Dennis!"
"Oke," putusnya, "Aku mengerti. Kamu berhak marah, karena aku begitu jahat."
"Dennis, tidak segampang yang kamu pikirkan. Aku mau pulang."
******
Itulah percakapan terakhir Dennis dan Celena yang berakhir dengan kemarahan masih memuncak di kepala Dennis. Dia memang terlanjur salah, tapi salahkah dia jika dia ingin meminta maaf dan semuanya akan kembali baik-baik saja? Lalu jawabannya dia temukan di akhir pembicaraannya dengan Celena, tidak segampang itu.
Dia menyukai Celena, begitu juga Celena. Dia memulai hal yang salah, Celena membalasnya dengan cowok lain. Lalu, mereka kembali lagi. Hanya saja Celena berbeda. Celena tidak lagi seperti dulu. Itu. Itulah kesimpulannya.
******
"Aku senang kamu kembali," ujar Dennis dengan kebahagiaan yang tak bisa ditutup-tutupi.
Celena senang. Karena itu berarti dia berhasil, membuat Dennis bahagia dalam waktu 3 hari, lalu membuat Dennis terpuruk, untuk waktu yang lama. "Aku sudah lama lupa padamu."
"Jangan bercanda," katanya sambil menyentuh dagu Celena.
"Kamu melihat aku tidak bercanda, Dennis."
"Apa maksudmu? Kamu memaafkan aku dan, demi Tuhan, 3 hari ini baik-baik saja!" serunya.
Celena terlalu tenang untuk Dennis yang gampang emosi. "Aku hanya ingin mengajarkan sesuatu, itu saja."
"Apa?"
"Kamu tahu sendiri. Nah, selamat tinggal."
Celena pergi, meninggalkan Dennis yang masih tertegun dengan kata-katanya. Dia sakit hati. Dia tahu dia telah menyakiti Dennis. Tapi niatnya sudah diteguhkan sejak dulu, dia tidak mau usahanya sia-sia.
******
Tujuh hari sudah berlalu.
Celena berhadapan dengan Waris sekarang.
"Dia menyesal. Dia bahagia setelah tahu kamu memaafkannya. Tapi tiba-tiba kamu pergi," Waris menerangkan.
"Apa benar seorang playboy seperti dia bisa terluka sedemikian parahnya karena aku?"
"Percaya atau tidak, jawabannya iya."
Celena terdiam.
"Tapi untuk apa ini semua? Kalau kamu juga memiliki rasa yang sama seperti Dennis?"
"Karena dia terlalu melukaiku, Ris."
******

Monday, March 23, 2009

Aku tidak masuk. Lagi. kata-kata yang membuatku teringat pada hal-hal yang terjadi berulang-ulang, dan itu identik dengan kebosanan. Sesekali aku memikirkan kapan aku bisa baik-baik saja, tapi yang memperparah kondisi adalah, bahwa--aku tidak bisa menenangkan pikiranku.
Amukan dan hantu-hantu pikiran merayap masuk, menembus arus-arus mimpiku, jadi--alangkah baiknya jika hari ini berlalu dan besok aku tak perlu menghabiskan waktu di tempat tidur--juga, aku tak mau tertidur. Tapi besok rasanya masih mustahil untuk berkeinginan demikian.
Kutarik napasku. Lega sejenak karena pikiranku teralihkan, lalu panik ketika ternyata 'hantu-hantu' itu mempersiapkan diri untuk mengepungku dari berbagai sudut. Demi Tuhan, hantu-hantunya begitu nyata dan membuatku terseret masuk ke dalam dunianya.

Satu lagi yang menjejal pikiranku sejak pagi adalah, tentang betapa cepatnya hari-hari itu datang, namun betapa lambatnya aku merasakan itu hari ini.
Itulah sebabnya aku tak ingin berdiam di tempat yang sama, di sini, sendiri pula. Aku menginginkan sesuatu yang berarti dan menimbulkan sensasi atau memacu adrenalin sekalian, tapi tak ada gunanya jika itu kulakukan sendirian (dalam arti lain--tentunya).
Lalu begitu seterusnya, hingga jika kujabarkan, semuanya akan membentuk lingkaran yang tidak ada ujungnya, sampai pertengahan tahun membuktikan semuanya. Ah, masa?

Sunday, March 22, 2009

Fidgetiness

Kenangan bisa jadi surga yang tak ingin kita ditinggalkan, tapi kenangan bisa jadi neraka yang tak bisa dihindari...

Setiap hitungan, setiap detik, setiap hembusan, semakin cepat membawaku pada ujung tanggal, lalu awal tanggal. Begitu berjalan aku merasa terlalu cepat. Aku menginginkan hari ini selesai, tapi tak ingin besok berlalu. Aku resah.
Hari ini aku takut, entah kenapa. Bahkan ketika tertawa, aku digerayangi ketakutan. Aku mengerti semua yang kualami ini begitu manusiawi dan juga fana. Yaaa..., aku bingung. ya, ya, dan iya.
Aku tahu aku harus melakukan apa, tapi tidak semuanya tersedia di depan mata, jadi di sinilah aku, terperangkap dengan banyak jalan tapi semuanya abu-abu.

Monday, March 16, 2009

"Something happened
For not the very first time with you
But, my heart melts into the ground"


Izinkanlah aku sekali lagi.

Entah apa yang kurasa, bahwa kata-kata ini berasal dari hati.
Mengingat pertanyaannya, saat pertama kali bertemu?
Aku menjawab tidak. Saat itu aku tidak menghiraukannya.
Mengulang pertanyaannya, saat dia berbicara pertama kali?
Aku menjawab lagi, tidak. Saat itu aku membicarakan orang lain.
Saat pertama kali menatapnya?
Aku menjawab tidak, lagi-lagi. Saat itu aku berusaha mati-matian mencintai orang lain.
Lalu kapan?
Satu. Dua. Tiga. Empat. Hitunglah terus... aku juga sedang mencari.

Akh..., sudah berhenti, Sayang.
Lihatlah, hati yang telah tertutup dan berusaha keras membeku.
Gelengan adalah jawaban yang benar.

Saat tersulit adalah ketika aku tahu dia di depanku, tapi dia tak tahu aku membutuhkannya.
Saat terindah adalah ketika aku mengenalnya.
Saat terluka adalah ketika aku diam.
Saat terlama adalah ketika aku berada dalam posisiku sekarang ini.
Tapi saat-saat itu menjadikan aku kompleks. Aku mengerti, aku memahami, aku merasakan, aku berpikir, aku tenggelam, aku terluka, dan aku bahagia.

Setiap yang telah selesai adalah akhir dan awal, kau tahu bahwa aku telah mengusahakannya, tanpa kepasrahan

Friday, March 13, 2009

Sassy

Hidup tak pernah lepas dari hal paling klise sekali pun...

Aku tak lagi berpikir, mengenai segala sesuatunya, mengapa, bagaimana, dan segala kata tanya yang membuatmu begitu haus untuk menginginkan jawabannya.
Sesaat dirimu diliputi dengan rasa yang ini, lalu rasa yang itu, kupikir, wajar jika berganti-ganti dengan cepat.
Lelah dengan menyusun setiap detil katanya, hanya agar kau tak salah mengerti. Ah, jangan berpikir, 'kau' adalah 'kamu'.
Aku tak lagi mengerti bagaimana aku harus mengetik dengan teratur, rapi, dan lagi seharusnya mampu mencurahkan semua yang ingin kuungkapkan.
Tapi tahu tidak, tanganku bergerak seakan meninggalkan pikiranku di belakang. Haha, sekarang aku tertawa.
Aku menopang daguku, kemudian menurunkannya dan mengetik lagi, mengetik saat aku sedang tak lagi menopang dagu. Tahukah arti dari kalimat di atas?
Kacau, gelisah, bimbang, tawa, canda, tarian... banyak hal yang bisa dilakukan. Banyak sekali, setelah sadar tentunya.
Nah, bertanya-tanyakah kau apa maksud dari semua tulisanku di atas? Aku mengangkat bahu.

Hm... lepas dari segala makna tersirat, aku tak lagi bisa memainkan kata. Aku ingat beberapa hari ke depan, lalu aku sadar semuanya begitu cepat. Pemblokiranku berhasil, kau tahu. Aku senantiasa terlelap saat malam tiba, tapi nyaris sepersekian menit sebelum jarum panjang dan pendek mulai menyatu. Aku tak lagi phobia kembang api ngomong-ngomong.
Apa lagi, ya? Aku cinta menari. Sesuatu dalam tubuhku melonjak bergairah, ketika berputar, menunduk, melompat, dan... yang jelas, aku jatuh cinta.
Aku mengikuti suatu komunitas baru, dengan wajah-wajah lama di masa lalu dan masa kini, tapi kejanggalan kudapati beberapa di sana.
...
Yakinlah, tak ada maksud apa-apa selain hanya ingin mengobrol dengan diri sendiri di sini.
Lalu, malam ini, aku berkutat pada kata 'download' berkali-kali agar tiket-tiket itu terpesan dan tercetak malam ini, betapa menyusahkannya hal ini, menunggu, tak pernah aku mendengar orang suka dengan menunggu.
Kata-kata dalam bahasa yang tak kumengerti, mendengungkan nyanyian terhadap penciptaNya, membuat hatiku ikut melantunkan irama itu. Aku jadi tersenyum lagi.
Aku menghembuskan napas. Kenapa lagi aku. Pernahkan berpikir kalau manusia itu kompleks sekali? Juga tak ada yang serumit manusia, apalagi pikirannya.
Pernah tahu tidak, berperang dalam pikiran sendiri? rasanya seperti..., hm..., seperti kau ingin keluar dari tubuhmu.

p.s: kamu sudah tua sebelum hari jadimu besok Sabtu.

Monday, March 2, 2009

Ketika hati ini terluka, aku berusaha untuk tidak menjerit.
Ketika pikiran ini tahu, aku berusaha untuk menutupnya.
Ketika diri ini tak kuasa menahan, aku dipaksa untuk patuh.
Tak bolehkah aku mengutarakan sedikit saja atas apa yang kuanggap tak adil?
Sebagian dari diriku tahu aku harus membuang segalanya, karena segala yang tercipta dan yang terjadi, bukan lagi bagian dari masa ini.
Aku merasakan nafas memburu, amarah, segala rasa yang tak mampu kutahan sendiri.
Kadang, seseorang harus merasakan baru mengerti.
Aku tahu aku tak bisa mengungkapkan semuanya.
Aku tahu aku hanyalah bidak catur dan tak mungkin berganti peran.
Bahkan saat ini, bukan aku lagi yang mengatur hati.
Tidakkah kau tahu betapa sulitnya semua ini?
Tidakkah kau mengerti aku ingin sekali melakukannya hingga terlepas--tapi aku tak mampu?
Tidakkah kau menduga aku juga mempunyai keinginan yang sama denganmu? Tapi bedanya aku tak bisa. Benar-benar tidak bisa.
Tidakkah kau tahu sejauh ini aku tak pernah berhenti memikirkan segalanya?
Dan...
Tidakkah kau tahu bahwa permintaanmu berada jauh di luar batas kemampuanku? Tapi aku tahu, kau tak pernah mau peduli.

Sunday, March 1, 2009

To Anonymous

Aku bukan pembaca pikiran.
Tidak ada yang dapat kugambarkan ketika aku berusaha mengingat apa yang tersirat dalam sorot matanya.
Aku tak pernah lagi melihat sorot mata itu dalam jangka waktu yang lama.
Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang ingin diutarakan--kalau itu maksudmu--aku tak pernah mengerti sesuatu hal yang tak ingin dia beritahu.
Hatiku menginginkan sebuah kepercayaan, aku percaya pada kalimat terakhir yang dia ucapkan.
Aku pernah berpikir seperti yang kamu pikirkan, tapi ketika tak ada satu pun jawaban keluar dari diriku, aku menjadi lelah dan percaya.

Aku tidak mengerti. Hingga kini, aku tak pernah mengerti.

Insecure

Aku ingin menghapusnya dengan tidak meninggalkan jejak.
Aku ingin memilikinya dengan segala daya upaya.
Aku ingin memaki dengan segenap hati.
Aku ingin berontak dengan sekuat tenaga.

Pertama, aku tidak tahu mengapa aku harus percaya.
Kedua, aku tidak mengerti, mengapa si perasa itu lenyap.
Ketiga, aku menyadari ketakutan mulai memelukku.

Adakah sesuatu yang mampu membuatku lega? Kapan?
Adakah jalan yang mampu membuatku melangkah? Di mana?
Adakah ia memperlihatkan sisinya yang katanya begitu manusiawi? Bagaimana mungkin?
Adakah keyakinan yang tercipta setelahnya? Seberap besar?
Adakah hal yang mampu menjelaskan SEMUA ini? Kenapa?

Aku menginginkan hari--tanpa terlewati.

;;