Tuesday, March 24, 2009

Redemption

Sejenak, aku punya cerita singkat.

Lampu disko gemerlap, terang-redup, warna-warna sekilas menyilaukan mata. Ah, di sinilah. Di sini tempat orang yang tak mengenal saling mengenal, tempat orang yang tak peduli siapa kamu dan dari mana kamu berasal, tempat yang sangat cuek, sekaligus hangat, ramah.
Lalu, mata elang itu begitu berbahaya mengintai mangsa. Gadis-gadis cantik, tua-muda, pakaian serba minim atau hanya sekedar gaun, seolah-olah menyiram wajahnya dengan air yang sangat dingin, membukakan setiap kelopak mata yang tertutup, tapi juga melilit otak.
Lagi-lagi, pikirannya menyela. Benar, ya, tujuannya bukan mengintai mangsa, tapi memburu mangsa yang telah kabur. Sialnya, kenapa matanya tak bisa tidak melirik yang lain, atau dia memang orang brengsek, yang menggunakan kata-kata klise seperti; ah, pria juga manusia. Berkaitan dengan teori itu, dia toh juga tidak benar-benar ingin melakukan yang lebih daripada sekedar melihat--setidaknya bukan sekarang.
Dia meremas rambutnya, nyaris stres atau malah sudah depresi, dia masih sulit membedakannya. Pikirannya berkecamuk antara, dia pasti sudah gila mencari gadis baik-baik di bar, tapi masalahnya, matanya melihat gadis itu bersama orang lain masuk ke dalam bar, bar ini. Tidak mungkin mata yang terlatih melirik gadis-gadis itu bisa salah melihat gadis!
Ada yang menyentuh bahunya, dia sedikit tersentak, lalu menyamarkan ekspresinya. Dilihatnya gadis itu dengan gaun merah yang panjangnya setengah di atas lutut, duduk di sampingnya dengan sangat terlatih, lalu tersenyum dengan ekspresi yang sudah dia tahu bahwa senyumnya itu memikat.
"Sendirian?" tanyanya, gayanya anggun.
"Nanti saja," katanya masih frustasi.
Gadis itu tertawa kecil, tak percaya dirinya ditolak mentah-mentah. "Ada apa denganmu, Dennis? Rasanya jarang melihat seorang playboy sialan sepertimu meratapi diri di bar?"
"Pergilah, Sheil. Nanti saja aku memanggilmu," ujarnya tak menatap gadis rupawan itu sama sekali.
Gadis itu mendorong bahu Dennis dengan gemas. "Sialan kamu, Dennis. Begitukah caramu memperlakukan aku? Siapa yang sedang diratapi? Dirimu, atau gadis lain? Yang mana lagi? Apa aku benar-benar tidak memegang piala jenis apa pun di hatimu, hah?"
Dennis diam, Sheila semakin marah.
"Dennis!"
"Aku mau mencari gadis lain. Sudah bosan," katanya dingin.
Dia pergi, tak peduli gadis tadi mendesis, menyumpah-nyumpah entah apa yang dikatakannya.
Celena, Celena, maafkan aku, batinnya meraung frustasi.
Tidak salah lagi, dia benar-benar melihat Celena sekarang, beberapa jarak di depannya, bersama seorang yang lain, dia tidak tahu, tapi mereka bergandengan tangan.
Rasa marah menggantikan rasa frustasinya, Dennis mengikuti.
Dia bosan, melihat cowok itu membelai rambut Celena, sesekali menatap ke arahnya, tatapan itu jelas sekali, sepertinya cowok itu ingin memakan Celena. Pikirannya membuat Dennis makin geram.
Tibalah saat dia harus mengejar Celena dengan taksi ketika cowok itu membawa Celena ke tempat kosnya dengan motor. Amarah diredamnya sedemikian rupa, banyak sekali yang ingin dilontarkannya pada Celena, lebih-lebih dia ingin menjelaskan sesuatu.
Dennis mengakui dia memang brengsek, dia memang mudah mencintai gadis-gadis mana saja. Itulah dia, Celena hanya tidak bisa menerimanya. Tapi Waris menyadarkannya, sahabat itu mengetahui bahwa dirinya menyukai Celena lebih daripada yang lainnya. Dan cemburunya tadi memang beralasan, bukan buta.
Dia telah sampai, tapi Celena dan cowok itu sampai lebih dulu, bedanya sang cowok belum pulang dan sepertinya menahan gadis itu untuk masuk ke dalam. Dennis marah lagi, tidak tahan rasanya.
Tapi kali ini dia punya alasan untuk keluar dari taksi dan menyerang cowok itu dengan ganas, Celena menolak menciumnya, tapi cowok itu memaksa.
"Dennis!" seru Celena.
Dia tak peduli terkena tinjuan balasan, yang penting dia bisa melampiaskan amarahnya. Apalagi korban pelampiasannya jatuh tepat sasaran, kalah telak, kabur lagi.
"Celena," panggil Dennis terengah-engah.
"Aku bisa membuatnya pergi baik-baik tanpa harus memukulnya," geram Celena dingin.
"Jangan bahas itu."
"Jangan memerintah aku."
"Kenapa kamu pergi dengan dia?!" sembur Dennis kesal.
"Apa urusannya?"
"Celena, tolonglah," rasa-rasanya dia jadi semakin frustasi.
"Apa, Dennis?"
"Maaf."
"Lupakan."
"Apa?"
"Tidak apa-apa. Selamat malam."
"Tunggu," Dennis mencekal lengannya.
Celena merintih, tapi Dennis tak melepasnya. Gadis itu memandangnya sengit, "Apa ada Dennis yang lain yang akan membantuku menghajarmu?" serangnya dingin.
"Celena, apa yang membuatmu begitu marah?"
"Apa menurutmu aku tidak berhak marah?"
"Apa kamu selalu membalas pertanyaan dengan pertanyaan lagi?"
"Tapi yang kutanyakan benar, Dennis!"
"Oke," putusnya, "Aku mengerti. Kamu berhak marah, karena aku begitu jahat."
"Dennis, tidak segampang yang kamu pikirkan. Aku mau pulang."
******
Itulah percakapan terakhir Dennis dan Celena yang berakhir dengan kemarahan masih memuncak di kepala Dennis. Dia memang terlanjur salah, tapi salahkah dia jika dia ingin meminta maaf dan semuanya akan kembali baik-baik saja? Lalu jawabannya dia temukan di akhir pembicaraannya dengan Celena, tidak segampang itu.
Dia menyukai Celena, begitu juga Celena. Dia memulai hal yang salah, Celena membalasnya dengan cowok lain. Lalu, mereka kembali lagi. Hanya saja Celena berbeda. Celena tidak lagi seperti dulu. Itu. Itulah kesimpulannya.
******
"Aku senang kamu kembali," ujar Dennis dengan kebahagiaan yang tak bisa ditutup-tutupi.
Celena senang. Karena itu berarti dia berhasil, membuat Dennis bahagia dalam waktu 3 hari, lalu membuat Dennis terpuruk, untuk waktu yang lama. "Aku sudah lama lupa padamu."
"Jangan bercanda," katanya sambil menyentuh dagu Celena.
"Kamu melihat aku tidak bercanda, Dennis."
"Apa maksudmu? Kamu memaafkan aku dan, demi Tuhan, 3 hari ini baik-baik saja!" serunya.
Celena terlalu tenang untuk Dennis yang gampang emosi. "Aku hanya ingin mengajarkan sesuatu, itu saja."
"Apa?"
"Kamu tahu sendiri. Nah, selamat tinggal."
Celena pergi, meninggalkan Dennis yang masih tertegun dengan kata-katanya. Dia sakit hati. Dia tahu dia telah menyakiti Dennis. Tapi niatnya sudah diteguhkan sejak dulu, dia tidak mau usahanya sia-sia.
******
Tujuh hari sudah berlalu.
Celena berhadapan dengan Waris sekarang.
"Dia menyesal. Dia bahagia setelah tahu kamu memaafkannya. Tapi tiba-tiba kamu pergi," Waris menerangkan.
"Apa benar seorang playboy seperti dia bisa terluka sedemikian parahnya karena aku?"
"Percaya atau tidak, jawabannya iya."
Celena terdiam.
"Tapi untuk apa ini semua? Kalau kamu juga memiliki rasa yang sama seperti Dennis?"
"Karena dia terlalu melukaiku, Ris."
******

2 comments:

itswinny said...

wow
3 huruf untuk mendeskripsikannya
keren bgt!!
knp ga coba buat novel??
T-T huhu..keren!

Memories and The New Beginning said...

gila! kurang panjang nenek!