Saturday, May 30, 2009

New Glamour

Tidak tahu kapan tepatnya, ketika tiba-tiba hati ini membeku dan kembali hangat. Ketika sesuatu mulai berdesir menggantikan segala amukan dan ratapan yang bersembunyi lama di dalam sini.
Aku yakin bukan hanya aku yang pernah merasa demikian…, walau begitu, aku tetap ingin mengurai kata-kata, mengapa rasa ini mampu membuatku bertahan lama di depan layar.
Ada dua hal yang ingin kusampaikan pada dua orang yang berbeda, yang sama-sama meraih hatiku demikian dalamnya, yang posisinya tak akan pernah terganti walau hanya menjadi kenangan, dan harapan.
Yang pertama adalah kata ‘maaf’. Aku memilih kata ini pertama kali, karena aku benar-benar merasa salah. Setelah aku berjanji tidak akan lagi membahas hal itu pada diriku sendiri, ketika dengan angkuhnya aku berkata aku bisa melakukannya, dan memang sekarang aku meloloskan pernyataanku…, tapi hal itu membuatku tidak bisa merasa senang.
Aku minta maaf karena tidak berjuang melanjutkan apa yang sudah terajut rapi di relung hati. Aku tidak berani meraih harapan yang tampak begitu samar seolah akan pudar tanpa bilang-bilang. Aku mengakui segala ketakutanku atas adanya sekat di antara kami, baik yang terlihat mau pun yang tidak.
Ketika waktu berlalu dan aku tak lagi menghitung bulan-bulan yang terlewati, sejenak aku merasa yakin dirinya telah hilang dari peredaran. Tak ada lagi luka yang menyelinap masuk ketika aku merasa sorot matanya membuatku amat merindukannya, tak ada lagi bayangnya yang menguasai alam bawah sadarku.
Karena semua itu, aku merasa aku yang bersalah. Aku berpikir aku salah karena telah menghapus semua luka dan semua rasa yang pernah kualami. Aku menghilangkan bagian-bagian di mana aku sangat membutuhkannya, aku bersikeras—membuangnya.
Aku tak lagi berharap pada pertengahan tahun ke depan, hatiku dengan yakinnya berkata segalanya tak akan pernah sama, bahwa waktu terlalu baik jika menjaga hati sampai begitu lamanya.
Setelah itu, aku menyebut inilah akhir… sekali pun aku mengerti berkas-berkasnya masih tersimpan dan tersebar di mana-mana. Kenangan yang tidak menyatu, antara imajinasi dan kenyataan, bahwa aku telah memilih untuk maju, walau potongan hati yang lain menginginkan rasa dan keadaan ini tetap sama, tak berubah.
Karena itu, aku minta maaf.

Izinkan aku menyampaikan kata yang lain setelah permintaan maafku. Yang kedua adalah kata ‘terima kasih’. Kata-kata ini mulai bergema dalam hatiku ketika sedikit demi sedikit seseorang mencoba menarikku keluar dan menuntunku pada harapan yang lain….
Saat kehadirannya yang lebih nyata mulai muncul dan mengikatku. Saat wajah berganti wajah dan alam bawah sadarku berhenti berduka. Bahkan ketika kebimbangan yang muncul di hatiku, yang pernah datang dengan sangat kuat.
Ketika sebuah keputusan aku raih dengan berharap pada keyakinan yang semakin kokoh, aku memilih tidak mundur, dan berjalan dengan hari-hari yang semakin dekat pada kepastian. Saat dia mengajakku untuk meninggalkan kenangan dan menciptakan harapan. Kupikir, gagasannya amat baik, dan aku memilih untuk mengikutinya.
Adanya kesanggupan untuk menanggung segala resiko, adanya anggukan untuk pertanyaan akan sesuatu yang membuatku ragu, menuntunku perlahan-lahan pada jalan lain, bahkan ketika hantu-hantu ketakutan masih mengiringi langkahku.
Terima kasih mau melakukan segalanya, bahkan ketika dirinya terjatuh dan basah kuyup. Bahkan ketika malam tiba dan kantuk itu menghadangnya… ketika kerja kerasnya dan bertahan pada rasa letih yang amat sangat…, masa lalunya yang mungkin begitu kelam…, segalanya, hal-hal kecil yang membuatku mampu merasakannya.
Ketika sesuatu hal yang baru, yang tiba-tiba membuatku begitu memperhatikan pola makannya, ketika aku tak menginginkan rasa sakit ada dalam dirinya, fisik mau pun batin, perlahan aku menyadari menyayangi hidup itu penting.
Ya, karena itu, karena menarikku, menuntunku, membimbingku, menyayangiku, dan mencintaiku—terima kasih.