Monday, November 23, 2009
"What day is it,
and it what month,
this clock never seemed so alive,
I can't keep up, and I can't back down,
I've been losing so much time..."
Hiyaa... everybody's change, everybody's will go. Shall i go too? How to keep my heart then? Gonna lose someone whose heart is still here.
"Cause it's you and me,
And all of the people,
with nothing to do, nothing to lose,
and it's you and me,
and I don't know why,
I can't keep my eyes off of you..."
I still can't keep my eyes off of you. There's no communication, no words. But why I feel save if I stay with you?
Friday, November 13, 2009
Waktu berputar cepat, kadang bergulir terlalu lambat. Kadang merisaukan bayangmu, kadang mengacuhkan hadirmu. Hari ini dipenuhi kesibukan, menyisipkan sedikit menit-menit yang terkorupsi untuk melepas lelah dengan curahan kata-kata.
Aku berpikir, teringat lagi dengan perkataanmu. Tentang sebuah tujuan, yang sampai kini aku pun tak mengerti. Tak ada gambaran sekilas yang membuatku pasti akan sesuatu di depan sana, dan kau pun begitu.
Seandainya aku tahu dan kau pun tahu, jauh lebih baik pastinya. Benar, kan?
Menitku habis sudah... -.+'
Monday, August 31, 2009
Hari demi hari berlalu, membawa kabar baik atau buruk, menciptakan kenangan, kemudian meninggalkan bekas--entah senyuman atau ratapan.
Langkahku terjaga dengan hati-hati, atas setiap peristiwa yang merangkai kenangan satu demi satu, tak ingin pada akhirnya menyisakan mimpi.
Aku merindukan hal-hal yang dulu pernah terjadi dalam hidupku. Senyuman, tawa, solidaritas, keramaian, kenyamanan, perhatian, lalu... sahabat. Sesuatu yang datang dan pergi tanpa pamit, yang menyenangkan jiwa namun pergi dengan menggelisahkan hati.
Aku mencoba untuk bersyukur atas apa pun yang kumiliki dan kualami kini, tapi terkadang rasa rindu itu seperti menyergap tiap sudut hatiku, membuat alam pikiranku mengingat saat-saat seperti itu.
Aku ingin menjadi kuat, agar aku bisa menguatkan orang lain. Memaksa diriku untuk berhadapan dengan segala rasa gentar, takut, atau melewati malam dengan mimpi.
Tapi 'kan lebih baik jika seandainya kamu hadir di setiap detik waktuku, walau diam tanpa suara... .
Wednesday, July 1, 2009
Ada sesuatu yang menyelinap masuk, yang membuka ikatan-ikatan masa lampau dan melepaskannya helai demi helai. Sesuatu yang membuatku bahagia, walau mungkin dulu pernah kurasakan. Ketika hembus napasnya menggelitik telingaku, membuatku tak kuasa membangun tembok tinggi-tinggi, perasaan bahagia jenis itulah yang muncul.
Hari demi hari, kebahagiaan datang berlandas kasih.. Namun kuyakin rasa ini didampingi ketakutan, dan selanjutnya pertanyaan.
Seorang sahabat bertanya padaku sebuah pertanyaan sederhana, aku cukup tercenung dibuatnya, hari ini. Dia memberiku beberapa kalimat, aku memahaminya.
Tak pernah aku mencoba membangun mimpi dan apa pun itu, aku bertahan pada realitas yang ada, berharap dengan berbuat seperti ini, aku akan cukup kuat.
Saturday, May 30, 2009
Tidak tahu kapan tepatnya, ketika tiba-tiba hati ini membeku dan kembali hangat. Ketika sesuatu mulai berdesir menggantikan segala amukan dan ratapan yang bersembunyi lama di dalam sini.
Aku yakin bukan hanya aku yang pernah merasa demikian…, walau begitu, aku tetap ingin mengurai kata-kata, mengapa rasa ini mampu membuatku bertahan lama di depan layar.
Ada dua hal yang ingin kusampaikan pada dua orang yang berbeda, yang sama-sama meraih hatiku demikian dalamnya, yang posisinya tak akan pernah terganti walau hanya menjadi kenangan, dan harapan.
Yang pertama adalah kata ‘maaf’. Aku memilih kata ini pertama kali, karena aku benar-benar merasa salah. Setelah aku berjanji tidak akan lagi membahas hal itu pada diriku sendiri, ketika dengan angkuhnya aku berkata aku bisa melakukannya, dan memang sekarang aku meloloskan pernyataanku…, tapi hal itu membuatku tidak bisa merasa senang.
Aku minta maaf karena tidak berjuang melanjutkan apa yang sudah terajut rapi di relung hati. Aku tidak berani meraih harapan yang tampak begitu samar seolah akan pudar tanpa bilang-bilang. Aku mengakui segala ketakutanku atas adanya sekat di antara kami, baik yang terlihat mau pun yang tidak.
Ketika waktu berlalu dan aku tak lagi menghitung bulan-bulan yang terlewati, sejenak aku merasa yakin dirinya telah hilang dari peredaran. Tak ada lagi luka yang menyelinap masuk ketika aku merasa sorot matanya membuatku amat merindukannya, tak ada lagi bayangnya yang menguasai alam bawah sadarku.
Karena semua itu, aku merasa aku yang bersalah. Aku berpikir aku salah karena telah menghapus semua luka dan semua rasa yang pernah kualami. Aku menghilangkan bagian-bagian di mana aku sangat membutuhkannya, aku bersikeras—membuangnya.
Aku tak lagi berharap pada pertengahan tahun ke depan, hatiku dengan yakinnya berkata segalanya tak akan pernah sama, bahwa waktu terlalu baik jika menjaga hati sampai begitu lamanya.
Setelah itu, aku menyebut inilah akhir… sekali pun aku mengerti berkas-berkasnya masih tersimpan dan tersebar di mana-mana. Kenangan yang tidak menyatu, antara imajinasi dan kenyataan, bahwa aku telah memilih untuk maju, walau potongan hati yang lain menginginkan rasa dan keadaan ini tetap sama, tak berubah.
Karena itu, aku minta maaf.
Izinkan aku menyampaikan kata yang lain setelah permintaan maafku. Yang kedua adalah kata ‘terima kasih’. Kata-kata ini mulai bergema dalam hatiku ketika sedikit demi sedikit seseorang mencoba menarikku keluar dan menuntunku pada harapan yang lain….
Saat kehadirannya yang lebih nyata mulai muncul dan mengikatku. Saat wajah berganti wajah dan alam bawah sadarku berhenti berduka. Bahkan ketika kebimbangan yang muncul di hatiku, yang pernah datang dengan sangat kuat.
Ketika sebuah keputusan aku raih dengan berharap pada keyakinan yang semakin kokoh, aku memilih tidak mundur, dan berjalan dengan hari-hari yang semakin dekat pada kepastian. Saat dia mengajakku untuk meninggalkan kenangan dan menciptakan harapan. Kupikir, gagasannya amat baik, dan aku memilih untuk mengikutinya.
Adanya kesanggupan untuk menanggung segala resiko, adanya anggukan untuk pertanyaan akan sesuatu yang membuatku ragu, menuntunku perlahan-lahan pada jalan lain, bahkan ketika hantu-hantu ketakutan masih mengiringi langkahku.
Terima kasih mau melakukan segalanya, bahkan ketika dirinya terjatuh dan basah kuyup. Bahkan ketika malam tiba dan kantuk itu menghadangnya… ketika kerja kerasnya dan bertahan pada rasa letih yang amat sangat…, masa lalunya yang mungkin begitu kelam…, segalanya, hal-hal kecil yang membuatku mampu merasakannya.
Ketika sesuatu hal yang baru, yang tiba-tiba membuatku begitu memperhatikan pola makannya, ketika aku tak menginginkan rasa sakit ada dalam dirinya, fisik mau pun batin, perlahan aku menyadari menyayangi hidup itu penting.
Ya, karena itu, karena menarikku, menuntunku, membimbingku, menyayangiku, dan mencintaiku—terima kasih.
Sunday, May 17, 2009
Aku menyadari, bahwa satu-satunya kenangan terunik adalah perasaan baru yang terukir jelas saat aku bersamamu.
Namun seolah-olah begitulah tugas sang waktu, ia mengaburkan pandanganku dan membuatku tak melihat lagi, dimana separuh jiwa yang kurelakan untuk singgah di hatimu.
Kini, aku tahu apa yang kau pilih, dan apa yang menjadi pilihanku, mungkin telah ditetapkan jauh sebelum kita menyadarinya.
Aku sulit mengucapkan inilah akhir, tapi jika aku tak mengucapkannya, tidak akan ada akhir bagi kisah ini...
Mungkin setelah ini, aku akan membuka kisah baru, kisah-kisah unik lainnya, walau tidak akan pernah sama.
Aku berharap aku tidak akan takut kehilanganmu, berharap aku cukup mengerti hal itu pasti kulewati.
Seseorang hadir di sisiku, dengan caranya yang berbeda, aku tidak berani berbuat apa pun, tapi aku mau melakukan sesuatu.
Saturday, May 16, 2009
Pada saat kau masih kanak-kanak,
saat kau belum mengetahui segala hal,
kau hanya menginginkan sesuatu yang sederhana.
Kau tIdak meminta uang alih-alih hanya sebatang c0klat.
Dan,betapa gampangnya orang lain membuatmu tertawa.
Ketika kau jatuh & lututmu berdarah, menangis mampu membuat semua orang di sekelilingmu menoleh dan membantumu, dan kau yakin luk itu sembuh.
Sesuatu membuatmu tak lagi memerlukan c0klat/bahkan keseimbngan tubuhmu mulai bagus, kau mulai mengetahui sebagian dari hidup ini.
Kau mempelajari banyak hal, baik itu buruk/berharga.
Kau mulai mempertanyakan fungsimu di dunia ini, apa arti segala rasa yang terpacu muncul dari dalam hatimu.
Jadi,sekarang aku mengerti, seseorang tidak akan kembali ke dalam masa dimana kau amat disayangi & dimanja tapi seseorang akan belajar untuk dunianya nanti.
Wednesday, April 29, 2009
"Pertanyaan apa, yang bisa kutanyakan, untuk memperlihatkan segala keraguanku?"
Terus terang saja, semua yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Tidak, tidak menyangka memang. Benar-benar tampak seperti obral pengalaman. Yang tak tahu menjadi tahu, yang sudah tahu membungkam sang lidah, yang tak boleh tahu, mungkin penasaran.
Apa pun yang tertulis, membuatku seolah-olah mengulang segala kejadiannya, nah, kalau kamu tahu, mungkin kamu merasa aku belum sanggup melupakannya, atau malah merasa aneh, mengapa aku tidak henti-hentinya mengungkit soal itu. Ya, maaf saja. Itu kan pengalaman pribadi? Unik, tak mungkin dilepaskan begitu saja. Salahmu sendiri menciptakannya. Tapi lepas dari itu, terima kasih banyak.
Tidak, kamu salah. Aku telah melupakannya, hanya saja, rasa nekat dalam diriku mendadak membuncah tinggi, dan aku ingin melukiskannya. Menjadi rangkaian cerita, dengan segala bentuk penyamaran, dan akhir yang mengungkapkan siapa sesungguhnya dirimu.
Tapi, tenang saja, aku tidak ingin semuanya terobral bebas, karena aku cukup mengerti, bagian mana yang harus diubah, dengan tidak menyalahi kejadian, namun menyamarkannya menjadi..., hm, cukup sempurna.
Tahu tidak, ini pertama kalinya aku menjilidnya dalam bentuk utuh, nyata, dan bisa kubaca setiap saat.
Menulis tentang itu tak berarti aku harus melempar diriku ke ujung tahun, bulan-bulan lalu, bulan penuh tanda tanya atau mungkin kenangan, atau malah kebahagiaan.
Tanpa perasaan, semuanya akan tercetak bebas.
Sesungguhnya, kata-kata yang tak pernah kuungkapkan, gerak-gerik yang mungkin terbaca olehmu, tidak akan pernah terhapus, karena aku memang tidak ingin. Menantikan kapan saat di mana aku tak bisa atau tak perlu melihatmu, aku tersenyum, karena aku tak tahu apa yang terjadi padaku, atau padamu saat itu.
Pasrah memang bukan hal yang pantas..., ajaranmu ini manjur sekali. Sekarang aku tahu bagaimana cara menghadapimu. Oh ya, masih tetap pada pikiranku yang dulu, seandainya jariku bisa menari di atas keyboard ini dan mengetik namamu, sepanjang yang kutahu.
Satu lagi, aku senang ada yang memahami tulisanku.
Kalau kamu tahu, kehadiranmu menyisakan banyak arti, aku tidak pernah menyesal mengenalmu.
Setelah dirimu, aku tahu bagaimana aku harus bertindak, tahu dengan pasti, menyadari rasa salah itu dengan reaksiku yang kelewat benar, itu pasti. Hahaha.
Memulai semuanya denganmu dari awal, benar-benar cukup menarik.
Tapi bagiku, mengakhiri segala rasa tentu saja sesuatu yang rumit, dan juga kunantikan.
Oh ya, kalau pada akhirnya kamu tahu siapa Elyse dalam ceritaku:
Ada bagian yang menceritakan, bahwa dialah temanku yang tahu apa pun, garis bawahi, apa pun, yang pernah kamu ceritakan, di mobil, atau di tempatmu setiap Jumat, benarkah? aku kurang tahu pasti, tapi intinya, perkataan yang kamu rahasiakan, aku telah mengetahuinya. Itu benar, bukan? Bagaimana kalau pada akhirnya aku di sana?
Tapi tentu saja tidak menutup kemungkinan, bahwa itu adalah sesuatu yang nilainya adalah 'berlaku pada saat kamu merasakannya', sisanya adalah, 'aku tak pernah mengatakannya'.
Hm..., bagaimana manusia bisa menghargai setiap perkataannya?
Sunday, April 12, 2009
Mmmmph.
Kenapa aku kalut...
Jika ada sesuatu yang bisa membuatku tertawa dan memacu adrenalinku, harusnya hal inilah yang kunanti. Tapi kenapa aku takut, dan tak bisa menghadapi diri sendiri? Kenapa, atau, apa karena aku pernah merasakannya dan takut terulang? Rasanya begitu singkat aku bebas, tapi aku tertarik lagi, ke tempat lain, sedikit demi sedikit hatiku bergerak.
Aku tak ingin ini menjadi pasti, tapi aku ingin ini menjadi kenyataan.
Aku ingin memberitahu seseorang, aku sudah bebas dan aku mengerti, aku telah sanggup memenuhi permintaannya, tapi dia tak sanggup memerintah hatiku.
Maaf, mungkin, hanya dengan cara ini aku bisa (dia--tahu--apa). Aku melakukan kesalahan, tapi aku menjalaninya.
Thursday, April 9, 2009
Apa sih arti dari 'teman', 'sahabat', 'kawan', dsb, dsb? Seseorang yang bisa ngerti kamu? Yang bisa tahu masalahmu? Yang mau berkorban buat kamu? Yang ada saat susah, senang, sakit?
Apa orang seperti itu ada?
Di saat rasa sepi itu menyergap, ke mana kamu mencari bahu seseorang untuk dipinjam semalam? Tapi, dari mana kamu tahu bahwa dia meminjamkannya dengan tulus?
Dunia terlalu penuh dengan penggambaran kekejaman hidup, di mana lagi kepercayaan itu bisa ditemukan?
Di mana kalian saat aku membutuhkan bantuan? Saat aku sedih, saat aku sakit?
"Lupakan, lupakan, lupakan," tahu tidak? Hanya itu perkataan kalian yang aku ingat. Hanya itu. Di mana? Di mana kalian?
Saat aku marah, tiba-tiba aku membenci kalian semua. Lantas, apa reaksi kalian? Mendiamkan aku? Mungkin berpikir bahwa emosiku tidak stabil, dan nanti aku akan baik-baik saja. Kenapa? Kenapa tidak berusaha mengucapkan beberapa patah kata yang bisa menenangkan hatiku? Kenapa pergi adalah jalan satu-satunya yang kalian ambil?
Hanya sampai di situ sajakah? Menyerah. Menyerah. Menyerah. Lalu pergi.
Ada beberapa peristiwa yang kuingat, terlintas dalam pikiranku, masih berputar dalam benakku. Tak ada teman yang setia, perkataan itu terngiang.
"Seorang sahabat bisa menyembuhkan luka hati,
Menarikmu dari nada-nada sedih yang melingkupi,
Menerangi langitmu yang kelabu,
Menjernihkan dusta-dusta yang menipu.
Seorang sahabat selalu siap dengan tangan terbuka,
Untuk menghiburmu dan melindungimu dari marabahaya,
Untuk membantu menyimpan segala rahasiamu,
Untuk menemanimu saat kau ingin bersenang-senang.
Seorang sahabat selalu ada di sampingmu, dalam suka dan duka,
Dalam saat-saat bahagia atau penuh ketakutan,
Selalu menyenangkan dan selalu ceria,
Dan ikatan di antara sahabat (seharusnya) senantiasa abadi."
Wednesday, April 8, 2009
Hm.
Kupikir, ini sesuatu yang mudah. Melepaskannya. Tapi aku jadi merindukannya.
Sepertinya ini sesuatu yang kuanggap terlarang. Lucu. Aneh juga.
Tiba-tiba saja pikiran ini terlintas, sudah lama, hal yang satu ini tidur jauh di bawah sana. Tapi tidak selama ketika pikiran itu bangun.
Tak ada lagi tanda tanya.. Aku tahu.
Hanya belum sanggup mengubahnya sedikit lagi.
Kurasa, tak mungkin jadi sempurna.
Betapa enaknya kalau aku bisa semaunya sendiri. Betapa aku tahu, keinginan ini sungguh berbeda, hanya kebetulan berada di satu titik dan satu jebakan.
Tapi, aku masih menanti keajaiban.
Friday, March 27, 2009
Menulis adalah salah satu bagian terindah dalam imajinasi. ^^
------
"Her feelings she hides.
Her dreams she can't find.
She's losing her mind.
She's fallen behind.
She can't find her place.
She's losing her faith.
She's fallen from grace.
She's all over the place."
------ -------
Rose, Rose!
Hatinya terbelenggu, terikat. Lihat raut wajah itu, penuh penderitaan, ketakutan, depresi. Wajah itu nyaris menangis, sedih rasanya. Matanya sembab, rambutnya acak-acakkan, dia menggenggam sesuatu, mirip seperti punyanya. Esther ingin sekali menolong Rose. Tapi dia tidak tahu caranya, tidak ada yang mau membantunya. Glenn juga tidak mau.
Dia tersiksa. Rose juga tersiksa. Jarak mereka begitu dekat, namun Rose terasa begitu jauh untuk disentuh, digapai. Lagipula, dia tidak bisa merasakan kulit Rose yang hangat, yang kadang basah oleh air mata. Dia tidak bisa.
Dua tahun. Esther menunggu dua tahun lamanya, sia-sia saja, dia tak pernah bisa memeluk Rose walau dia mampu melihatnya. Dia tidak dapat berbuat apa-apa, walau Rose menangis, dan sorot matanya begitu kelelahan.
Lou, kekasih Rose, menghilang dari hadapannya. Dia bingung, bagaimana menghubungi Lou.
"Esther," seseorang memanggilnya.
Dia menoleh, ketakutan, seluruh tubuhnya seperti bergetar, dia juga merinding. Dia benci sensasi ini, tapi dia takut sekali. Dia takut ada yang mengambil Rose darinya.
"Esther, ini Glenn."
Lega rasanya mendengar nama Glenn berdengung di telinganya. Dia hampir-hampir tidak bisa lagi membedakan suara orang. Dia takut lambat laun dia akan melupakan Glenn karena yang terngiang di telinganya hanyalah suara teriakan Rose, tangisan Rose, dan kebisuan Rose. Rose. Selalu dia. Tapi Rose tidak marah kalau ada Glenn.
"Sayang, Esther, kemarilah," suara lembut Glenn membelai telinganya.
Dia maju memeluk Glenn, meninggalkan Rose di tempat tidur kamarnya. Air mata itu keluar lagi, tak mampu dibendung, selalu muncul kalau Glenn ada.
"Glenn....," rintihnya.
"Aku tahu, aku tahu. Esther, bisakah kita bicarakan hal lain saja?" tanya Glenn.
Apa itu hal lain? Hal lain apa? batinnya. "Glenn, Rose..."
"Rose sudah lama meninggal..."
Meninggal! Lagi! Glenn telah buta! Rose ada di sini! Di tempat tidurnya, dia meraung frustasi di dalam hati.
Esther menggeleng. "Glenn, tolong. Kamu harus selamatkan dia. Aku sayang Rose. Dia terkunci..."
Glenn menyentuh hidungnya, Glenn selalu memperlakukannya seperti anak kecil, sabar sekali. Tapi Glenn tidak mau membantu Esther. Glenn tidak mau. Karena apa?
"Hm..., tahu tidak Esther? Aku bertemu dengan seseorang di taman, dia pintar melukis. Lukisannya bagus sekali," Glenn bercerita.
Tapi Esther tidak menghiraukannya. Dia menunduk, menangis lagi dalam diam. Dia tidak ingin putus asa, Glenn orang yang baik dan dia akan menolong Rose, dia yakin sekali. Tapi Glenn masih belum mau sekarang, hanya belum mau.
"Lukisan?"
Glenn tampak bersemangat ketika dia bertanya, dia menemukan kuncinya. "Ya! Lukisan tentang sunset, warna orange, hitam, laut, matahari. Indah sekali," Glenn tersenyum, senyumnya menyejukkan. Kalau Rose melihatnya, dia pasti bisa tersenyum juga. Tapi sayang, dia tidak tahu ke mana Rose kalau Glenn muncul.
"Benar, ya? Ada lukisan indah?" tanya Esther, ingin menunjukkan kalau dia berusaha menarik perhatian Glenn.
"Ya, ada. Tapi ada yang asli, Esther," ujar Glenn.
"Asli?" dia membeo tanpa memperhatikannya benar-benar.
"Kamu bisa melihatnya di pantai, kalau sore, saat matahari terbenam," Glenn makin antusias.
"Ajak Rose, ya?" tanya Esther bersemangat.
Glenn langsung murung.
"Glenn?"
Glenn menatap matanya. "Tidak bisa."
"Kenapa?" apa kamu membenci Rose, Glenn?
"Rose bisa melihatnya dengan caranya sendiri."
"Tapi aku mau bersamanya!"
"Aku bisa mengajakmu kalau kamu melepaskan Rose dari pikiranmu," Glenn mengajukan syarat, "Rose meninggal, Esther. Sadari itu, dan lepaskan dia," dan syaratnya susah bagi Esther.
Dia kembali menangis. Glenn memeluk tubuhnya, bagi Glenn, tubuh itu amat rapuh. Bagi Esther, tubuh Glenn bisa menyelamatkan Rose dari bayang-bayang kesedihan. Esther bisa merasakannya, tapi Glenn tidak.
******
"Di mana Lou, Rose?" dia ingin menemukan Lou secepatnya.
Tapi Rose tidak menjawabnya, atau dia tak bisa mendengarnya? dia tidak tahu. Esther ingin melihat Lou lagi.
Kata Glenn, sudah 2 tahun 5 bulan. Entah maksud Glenn apa. Tapi Glenn bilang Lou sudah sembuh. Ternyata Lou sakit. Jadi ada kesempatan baginya untuk memberitahu Lou bahwa Rose amat merana, sangat. Dan Lou pasti membantunya, karena Lou sayang pada Rose.
Pintu terbuka. Dia terkejut. Lou, Lou, Lou, batinnya bersorak girang.
"Lou!!" serunya.
Lou amat tenang berdiri di ambang pintu. Dia maju perlahan mendekat pada Esther. Tak ada seulas senyum dari Lou. Wajah Lou tegang, tapi tampaknya juga datar. Dia tak peduli bagaimana raut wajah Lou, yang penting, dia tahu Rose akan bebas, karena ada Lou.
"Lou?" dia berbisik takut, dia takut karena Lou begitu menyeramkan.
Samar-samar Lou tersenyum. Hatinya sedikit lega.
"Halo, Esther," sapa Lou.
Lou duduk di dekat Esther. Memandangnya sejenak, lalu tersenyum kecil lagi. Penampilan Lou amat rapi, tapi Lou jadi terlihat kurus sekarang.
"Lou..., apa kabar?" tanya Esther.
"Kamu bunuh Rose, ya," ujar Lou.
Esther tersentak. "Lou?"
Dia merasa pusing. Pusing sekali. Kepalanya berdenyut-denyut sakit, seperti yang sering terjadi, tapi kali ini dia tak mampu mengatasinya.
"Kamu bunuh Rose," itu pernyataan. Dari Lou.
"Bukan," jawabnya.
"Esther bunuh Rose. Esther bunuh saudaranya," Lou tersenyum.
Esther semakin pusing. Kilasan-kilasan itu, bayang-bayang itu, hantu masa lalunya, menyergapnya hingga kehabisan napas. Dia tersungkur di lantai kamarnya, tapi Lou tetap duduk di kursinya dan tertawa kecil.
Dia ingin minta tolong, tapi dia tahu tidak ada yang bisa menolongnya. Wajah Rose..., suara Rose, teriakan Rose. Dia ingat. Ingat semuanya hingga ingin dilupakannya.
Rose meninggal. Rose meninggal. Tapi bukan dia yang bunuh. Bukan.
******
Glenn terdiam. Dia memandang wajah Esther yang sedang tidur, di ranjang rumah sakit. Wajahnya tenang dan tak ada raut kesedihan. Hanya saja lingkaran hitam di bawah matanya terlihat amat jelas. Glenn benar-benar sayang pada Eshther, tapi dia tak tahu, kapan Esther bisa membalas rasa sayangnya itu dengan normal.
"Glenn...," panggil Fiona, ibu Esther.
"Ya," jawabnya datar.
"Sabar sekali...," keluhnya.
"Lou mana?"
"Menghilang. Polisi masih mencarinya."
"Kenapa?"
"Dia kabur dari tempat rehabilitasi. Dokter Er meneleponku, Lou menyuntik salah satu psikiatri dengan obat bius, secara paksa."
"Ya, Tuhan."
"Dia kembali dan dia bilang dia sudah sembuh, dia bilang itu padaku, Glenn. Melihatnya begitu stabil, membuat kepercayaanku bangkit. Satu-satunya yang timbul dalam benakku adalah Lou dapat membantu Esther."
"Esther berteriak kemarin. Katanya dia yang bunuh Rose. Dia memecahkan cermin itu. Lalu dia melihat wajah Rose hancur. Esther langsung pingsan," kata Glenn.
"Ayahnya ingin dia dirawat di rumah sakit jiwa, Glenn. Aku bingung," desah Fiona.
"Mungkinkah hanya itu jalan terbaik?" tanya Glenn, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia tak bisa melepaskan bayangan Rose. Sulit baginya, pasti. Rose kembarannya. Mereka sama persis. Dengan melihat cermin, Esther beranggapan Rose terkurung."
"Ya, aku tak punya cara lain. Aku tidak tega berkata Rose sudah meninggal...," Fiona nyaris menangis.
"Tapi kamu tidak ingin kehilangan jiwa Esther juga, kan? Esther harus diselamatkan. Pikirannya selalu mengatakan Rose menderita, Rose terkurung, semuanya. Kenapa tidak mencoba membawanya ke rumah sakit? Hidupnya masih panjang. Dia akan sembuh, dia hanya butuh waktu," terang Glenn.
"Rose dan Esther mempunyai ikatan jiwa yang kuat. Mereka kembar yang identik seluruhnya. Jiwa dan pikiran mereka sama. Esther terpuruk karena kematian Rose. Dia tak pernah sendirian, Rose selalu menemaninya."
"Aku tahu."
"Dengan melihat cermin, dia seperti melihat Rose. Kamu tidak tahu bagaimana aku shock kala itu," Fiona sudah menangis.
Glenn tersenyum sedih, "Dia bilang padaku Rose sangat ketakutan, sedih, dan merana. Estherlah yang merana sebenarnya," Glenn membenamkan wajahnya pada kedua tangan. Sedih rasanya.
Sedih melihat Esther kehilangan akal sehatnya. Marah karena Lou datang membuat Esther makin terganggu dengan ucapannya yang sembarangan. Tapi dia tahu, kematian Rose karena Lou. Itulah sebabnya Lou menjadi gila dan dirawat. Hanya saja, kematian Rose begitu mempengaruhi hidup Esther, sehingga dia menderita depresi.
"Pulanglah, temani Esther. Tinggallah di sini dan jangan biarkan dia semakin menderita," pinta Glenn.
Fiona mengangguk. "Ya. Aku menyesal membiarkannya sendirian di sini, sementara aku pergi ke Chicago untuk melupakan rasa terpurukku...."
Jari-jari tangan Esther bergerak ketika Glenn sedang menggenggamnya.
"Esther?" panggil Glenn pelan.
"Glenn...,"
"Ya?"
"Aku gila, ya?"
*******
Cerita ini terinspirasi dari : Nobody's Home--Avril Lavigne.
Wednesday, March 25, 2009
God can't stop loving you.
Yes, I have love i with an everlasting love; therefore with loving kindness I have drawn u.
God can't abandon u.
Be strong and of good courage, do not fear nor be afraid of them; for the Lord ur God, he's d one who goes with u. He won't leave you nor forsake you.
God can't make a loser.
Now thanks to God who always leads us.
God can't remember sins he's chosen to forget.
I, even I, am he who blots out ur transgressions for my own sake; I won't remember ur sins.
God can't be prejudiced.
In truth I perceive that God shows no partiality. But in every nation whoever fears him and works righteousness is accepted by him.
God can't break a promise.
My covenant I won't break, nor alter the word that has gone out of my lips.
God can't get tired.
Have u not known? Have you not heard? The everlasting God, the Lord, the Creator of the ends of the earth, neither faints nor is weary.
Well, how great is our God.!
Tuesday, March 24, 2009
Sejenak, aku punya cerita singkat.
Lampu disko gemerlap, terang-redup, warna-warna sekilas menyilaukan mata. Ah, di sinilah. Di sini tempat orang yang tak mengenal saling mengenal, tempat orang yang tak peduli siapa kamu dan dari mana kamu berasal, tempat yang sangat cuek, sekaligus hangat, ramah.
Lalu, mata elang itu begitu berbahaya mengintai mangsa. Gadis-gadis cantik, tua-muda, pakaian serba minim atau hanya sekedar gaun, seolah-olah menyiram wajahnya dengan air yang sangat dingin, membukakan setiap kelopak mata yang tertutup, tapi juga melilit otak.
Lagi-lagi, pikirannya menyela. Benar, ya, tujuannya bukan mengintai mangsa, tapi memburu mangsa yang telah kabur. Sialnya, kenapa matanya tak bisa tidak melirik yang lain, atau dia memang orang brengsek, yang menggunakan kata-kata klise seperti; ah, pria juga manusia. Berkaitan dengan teori itu, dia toh juga tidak benar-benar ingin melakukan yang lebih daripada sekedar melihat--setidaknya bukan sekarang.
Dia meremas rambutnya, nyaris stres atau malah sudah depresi, dia masih sulit membedakannya. Pikirannya berkecamuk antara, dia pasti sudah gila mencari gadis baik-baik di bar, tapi masalahnya, matanya melihat gadis itu bersama orang lain masuk ke dalam bar, bar ini. Tidak mungkin mata yang terlatih melirik gadis-gadis itu bisa salah melihat gadis!
Ada yang menyentuh bahunya, dia sedikit tersentak, lalu menyamarkan ekspresinya. Dilihatnya gadis itu dengan gaun merah yang panjangnya setengah di atas lutut, duduk di sampingnya dengan sangat terlatih, lalu tersenyum dengan ekspresi yang sudah dia tahu bahwa senyumnya itu memikat.
"Sendirian?" tanyanya, gayanya anggun.
"Nanti saja," katanya masih frustasi.
Gadis itu tertawa kecil, tak percaya dirinya ditolak mentah-mentah. "Ada apa denganmu, Dennis? Rasanya jarang melihat seorang playboy sialan sepertimu meratapi diri di bar?"
"Pergilah, Sheil. Nanti saja aku memanggilmu," ujarnya tak menatap gadis rupawan itu sama sekali.
Gadis itu mendorong bahu Dennis dengan gemas. "Sialan kamu, Dennis. Begitukah caramu memperlakukan aku? Siapa yang sedang diratapi? Dirimu, atau gadis lain? Yang mana lagi? Apa aku benar-benar tidak memegang piala jenis apa pun di hatimu, hah?"
Dennis diam, Sheila semakin marah.
"Dennis!"
"Aku mau mencari gadis lain. Sudah bosan," katanya dingin.
Dia pergi, tak peduli gadis tadi mendesis, menyumpah-nyumpah entah apa yang dikatakannya.
Celena, Celena, maafkan aku, batinnya meraung frustasi.
Tidak salah lagi, dia benar-benar melihat Celena sekarang, beberapa jarak di depannya, bersama seorang yang lain, dia tidak tahu, tapi mereka bergandengan tangan.
Rasa marah menggantikan rasa frustasinya, Dennis mengikuti.
Dia bosan, melihat cowok itu membelai rambut Celena, sesekali menatap ke arahnya, tatapan itu jelas sekali, sepertinya cowok itu ingin memakan Celena. Pikirannya membuat Dennis makin geram.
Tibalah saat dia harus mengejar Celena dengan taksi ketika cowok itu membawa Celena ke tempat kosnya dengan motor. Amarah diredamnya sedemikian rupa, banyak sekali yang ingin dilontarkannya pada Celena, lebih-lebih dia ingin menjelaskan sesuatu.
Dennis mengakui dia memang brengsek, dia memang mudah mencintai gadis-gadis mana saja. Itulah dia, Celena hanya tidak bisa menerimanya. Tapi Waris menyadarkannya, sahabat itu mengetahui bahwa dirinya menyukai Celena lebih daripada yang lainnya. Dan cemburunya tadi memang beralasan, bukan buta.
Dia telah sampai, tapi Celena dan cowok itu sampai lebih dulu, bedanya sang cowok belum pulang dan sepertinya menahan gadis itu untuk masuk ke dalam. Dennis marah lagi, tidak tahan rasanya.
Tapi kali ini dia punya alasan untuk keluar dari taksi dan menyerang cowok itu dengan ganas, Celena menolak menciumnya, tapi cowok itu memaksa.
"Dennis!" seru Celena.
Dia tak peduli terkena tinjuan balasan, yang penting dia bisa melampiaskan amarahnya. Apalagi korban pelampiasannya jatuh tepat sasaran, kalah telak, kabur lagi.
"Celena," panggil Dennis terengah-engah.
"Aku bisa membuatnya pergi baik-baik tanpa harus memukulnya," geram Celena dingin.
"Jangan bahas itu."
"Jangan memerintah aku."
"Kenapa kamu pergi dengan dia?!" sembur Dennis kesal.
"Apa urusannya?"
"Celena, tolonglah," rasa-rasanya dia jadi semakin frustasi.
"Apa, Dennis?"
"Maaf."
"Lupakan."
"Apa?"
"Tidak apa-apa. Selamat malam."
"Tunggu," Dennis mencekal lengannya.
Celena merintih, tapi Dennis tak melepasnya. Gadis itu memandangnya sengit, "Apa ada Dennis yang lain yang akan membantuku menghajarmu?" serangnya dingin.
"Celena, apa yang membuatmu begitu marah?"
"Apa menurutmu aku tidak berhak marah?"
"Apa kamu selalu membalas pertanyaan dengan pertanyaan lagi?"
"Tapi yang kutanyakan benar, Dennis!"
"Oke," putusnya, "Aku mengerti. Kamu berhak marah, karena aku begitu jahat."
"Dennis, tidak segampang yang kamu pikirkan. Aku mau pulang."
******
Itulah percakapan terakhir Dennis dan Celena yang berakhir dengan kemarahan masih memuncak di kepala Dennis. Dia memang terlanjur salah, tapi salahkah dia jika dia ingin meminta maaf dan semuanya akan kembali baik-baik saja? Lalu jawabannya dia temukan di akhir pembicaraannya dengan Celena, tidak segampang itu.
Dia menyukai Celena, begitu juga Celena. Dia memulai hal yang salah, Celena membalasnya dengan cowok lain. Lalu, mereka kembali lagi. Hanya saja Celena berbeda. Celena tidak lagi seperti dulu. Itu. Itulah kesimpulannya.
******
"Aku senang kamu kembali," ujar Dennis dengan kebahagiaan yang tak bisa ditutup-tutupi.
Celena senang. Karena itu berarti dia berhasil, membuat Dennis bahagia dalam waktu 3 hari, lalu membuat Dennis terpuruk, untuk waktu yang lama. "Aku sudah lama lupa padamu."
"Jangan bercanda," katanya sambil menyentuh dagu Celena.
"Kamu melihat aku tidak bercanda, Dennis."
"Apa maksudmu? Kamu memaafkan aku dan, demi Tuhan, 3 hari ini baik-baik saja!" serunya.
Celena terlalu tenang untuk Dennis yang gampang emosi. "Aku hanya ingin mengajarkan sesuatu, itu saja."
"Apa?"
"Kamu tahu sendiri. Nah, selamat tinggal."
Celena pergi, meninggalkan Dennis yang masih tertegun dengan kata-katanya. Dia sakit hati. Dia tahu dia telah menyakiti Dennis. Tapi niatnya sudah diteguhkan sejak dulu, dia tidak mau usahanya sia-sia.
******
Tujuh hari sudah berlalu.
Celena berhadapan dengan Waris sekarang.
"Dia menyesal. Dia bahagia setelah tahu kamu memaafkannya. Tapi tiba-tiba kamu pergi," Waris menerangkan.
"Apa benar seorang playboy seperti dia bisa terluka sedemikian parahnya karena aku?"
"Percaya atau tidak, jawabannya iya."
Celena terdiam.
"Tapi untuk apa ini semua? Kalau kamu juga memiliki rasa yang sama seperti Dennis?"
"Karena dia terlalu melukaiku, Ris."
******
Monday, March 23, 2009
Aku tidak masuk. Lagi. kata-kata yang membuatku teringat pada hal-hal yang terjadi berulang-ulang, dan itu identik dengan kebosanan. Sesekali aku memikirkan kapan aku bisa baik-baik saja, tapi yang memperparah kondisi adalah, bahwa--aku tidak bisa menenangkan pikiranku.
Amukan dan hantu-hantu pikiran merayap masuk, menembus arus-arus mimpiku, jadi--alangkah baiknya jika hari ini berlalu dan besok aku tak perlu menghabiskan waktu di tempat tidur--juga, aku tak mau tertidur. Tapi besok rasanya masih mustahil untuk berkeinginan demikian.
Kutarik napasku. Lega sejenak karena pikiranku teralihkan, lalu panik ketika ternyata 'hantu-hantu' itu mempersiapkan diri untuk mengepungku dari berbagai sudut. Demi Tuhan, hantu-hantunya begitu nyata dan membuatku terseret masuk ke dalam dunianya.
Satu lagi yang menjejal pikiranku sejak pagi adalah, tentang betapa cepatnya hari-hari itu datang, namun betapa lambatnya aku merasakan itu hari ini.
Itulah sebabnya aku tak ingin berdiam di tempat yang sama, di sini, sendiri pula. Aku menginginkan sesuatu yang berarti dan menimbulkan sensasi atau memacu adrenalin sekalian, tapi tak ada gunanya jika itu kulakukan sendirian (dalam arti lain--tentunya).
Lalu begitu seterusnya, hingga jika kujabarkan, semuanya akan membentuk lingkaran yang tidak ada ujungnya, sampai pertengahan tahun membuktikan semuanya. Ah, masa?
Sunday, March 22, 2009
Kenangan bisa jadi surga yang tak ingin kita ditinggalkan, tapi kenangan bisa jadi neraka yang tak bisa dihindari...
Setiap hitungan, setiap detik, setiap hembusan, semakin cepat membawaku pada ujung tanggal, lalu awal tanggal. Begitu berjalan aku merasa terlalu cepat. Aku menginginkan hari ini selesai, tapi tak ingin besok berlalu. Aku resah.
Hari ini aku takut, entah kenapa. Bahkan ketika tertawa, aku digerayangi ketakutan. Aku mengerti semua yang kualami ini begitu manusiawi dan juga fana. Yaaa..., aku bingung. ya, ya, dan iya.
Aku tahu aku harus melakukan apa, tapi tidak semuanya tersedia di depan mata, jadi di sinilah aku, terperangkap dengan banyak jalan tapi semuanya abu-abu.
Monday, March 16, 2009
"Something happened
For not the very first time with you
But, my heart melts into the ground"
Izinkanlah aku sekali lagi.
Entah apa yang kurasa, bahwa kata-kata ini berasal dari hati.
Mengingat pertanyaannya, saat pertama kali bertemu?
Aku menjawab tidak. Saat itu aku tidak menghiraukannya.
Mengulang pertanyaannya, saat dia berbicara pertama kali?
Aku menjawab lagi, tidak. Saat itu aku membicarakan orang lain.
Saat pertama kali menatapnya?
Aku menjawab tidak, lagi-lagi. Saat itu aku berusaha mati-matian mencintai orang lain.
Lalu kapan?
Satu. Dua. Tiga. Empat. Hitunglah terus... aku juga sedang mencari.
Akh..., sudah berhenti, Sayang.
Lihatlah, hati yang telah tertutup dan berusaha keras membeku.
Gelengan adalah jawaban yang benar.
Saat tersulit adalah ketika aku tahu dia di depanku, tapi dia tak tahu aku membutuhkannya.
Saat terindah adalah ketika aku mengenalnya.
Saat terluka adalah ketika aku diam.
Saat terlama adalah ketika aku berada dalam posisiku sekarang ini.
Tapi saat-saat itu menjadikan aku kompleks. Aku mengerti, aku memahami, aku merasakan, aku berpikir, aku tenggelam, aku terluka, dan aku bahagia.
Setiap yang telah selesai adalah akhir dan awal, kau tahu bahwa aku telah mengusahakannya, tanpa kepasrahan
Friday, March 13, 2009
Hidup tak pernah lepas dari hal paling klise sekali pun...
Aku tak lagi berpikir, mengenai segala sesuatunya, mengapa, bagaimana, dan segala kata tanya yang membuatmu begitu haus untuk menginginkan jawabannya.
Sesaat dirimu diliputi dengan rasa yang ini, lalu rasa yang itu, kupikir, wajar jika berganti-ganti dengan cepat.
Lelah dengan menyusun setiap detil katanya, hanya agar kau tak salah mengerti. Ah, jangan berpikir, 'kau' adalah 'kamu'.
Aku tak lagi mengerti bagaimana aku harus mengetik dengan teratur, rapi, dan lagi seharusnya mampu mencurahkan semua yang ingin kuungkapkan.
Tapi tahu tidak, tanganku bergerak seakan meninggalkan pikiranku di belakang. Haha, sekarang aku tertawa.
Aku menopang daguku, kemudian menurunkannya dan mengetik lagi, mengetik saat aku sedang tak lagi menopang dagu. Tahukah arti dari kalimat di atas?
Kacau, gelisah, bimbang, tawa, canda, tarian... banyak hal yang bisa dilakukan. Banyak sekali, setelah sadar tentunya.
Nah, bertanya-tanyakah kau apa maksud dari semua tulisanku di atas? Aku mengangkat bahu.
Hm... lepas dari segala makna tersirat, aku tak lagi bisa memainkan kata. Aku ingat beberapa hari ke depan, lalu aku sadar semuanya begitu cepat. Pemblokiranku berhasil, kau tahu. Aku senantiasa terlelap saat malam tiba, tapi nyaris sepersekian menit sebelum jarum panjang dan pendek mulai menyatu. Aku tak lagi phobia kembang api ngomong-ngomong.
Apa lagi, ya? Aku cinta menari. Sesuatu dalam tubuhku melonjak bergairah, ketika berputar, menunduk, melompat, dan... yang jelas, aku jatuh cinta.
Aku mengikuti suatu komunitas baru, dengan wajah-wajah lama di masa lalu dan masa kini, tapi kejanggalan kudapati beberapa di sana.
...
Yakinlah, tak ada maksud apa-apa selain hanya ingin mengobrol dengan diri sendiri di sini.
Lalu, malam ini, aku berkutat pada kata 'download' berkali-kali agar tiket-tiket itu terpesan dan tercetak malam ini, betapa menyusahkannya hal ini, menunggu, tak pernah aku mendengar orang suka dengan menunggu.
Kata-kata dalam bahasa yang tak kumengerti, mendengungkan nyanyian terhadap penciptaNya, membuat hatiku ikut melantunkan irama itu. Aku jadi tersenyum lagi.
Aku menghembuskan napas. Kenapa lagi aku. Pernahkan berpikir kalau manusia itu kompleks sekali? Juga tak ada yang serumit manusia, apalagi pikirannya.
Pernah tahu tidak, berperang dalam pikiran sendiri? rasanya seperti..., hm..., seperti kau ingin keluar dari tubuhmu.
p.s: kamu sudah tua sebelum hari jadimu besok Sabtu.
Monday, March 2, 2009
Ketika hati ini terluka, aku berusaha untuk tidak menjerit.
Ketika pikiran ini tahu, aku berusaha untuk menutupnya.
Ketika diri ini tak kuasa menahan, aku dipaksa untuk patuh.
Tak bolehkah aku mengutarakan sedikit saja atas apa yang kuanggap tak adil?
Sebagian dari diriku tahu aku harus membuang segalanya, karena segala yang tercipta dan yang terjadi, bukan lagi bagian dari masa ini.
Aku merasakan nafas memburu, amarah, segala rasa yang tak mampu kutahan sendiri.
Kadang, seseorang harus merasakan baru mengerti.
Aku tahu aku tak bisa mengungkapkan semuanya.
Aku tahu aku hanyalah bidak catur dan tak mungkin berganti peran.
Bahkan saat ini, bukan aku lagi yang mengatur hati.
Tidakkah kau tahu betapa sulitnya semua ini?
Tidakkah kau mengerti aku ingin sekali melakukannya hingga terlepas--tapi aku tak mampu?
Tidakkah kau menduga aku juga mempunyai keinginan yang sama denganmu? Tapi bedanya aku tak bisa. Benar-benar tidak bisa.
Tidakkah kau tahu sejauh ini aku tak pernah berhenti memikirkan segalanya?
Dan...
Tidakkah kau tahu bahwa permintaanmu berada jauh di luar batas kemampuanku? Tapi aku tahu, kau tak pernah mau peduli.
Sunday, March 1, 2009
Aku bukan pembaca pikiran.
Tidak ada yang dapat kugambarkan ketika aku berusaha mengingat apa yang tersirat dalam sorot matanya.
Aku tak pernah lagi melihat sorot mata itu dalam jangka waktu yang lama.
Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang ingin diutarakan--kalau itu maksudmu--aku tak pernah mengerti sesuatu hal yang tak ingin dia beritahu.
Hatiku menginginkan sebuah kepercayaan, aku percaya pada kalimat terakhir yang dia ucapkan.
Aku pernah berpikir seperti yang kamu pikirkan, tapi ketika tak ada satu pun jawaban keluar dari diriku, aku menjadi lelah dan percaya.
Aku tidak mengerti. Hingga kini, aku tak pernah mengerti.
Aku ingin menghapusnya dengan tidak meninggalkan jejak.
Aku ingin memilikinya dengan segala daya upaya.
Aku ingin memaki dengan segenap hati.
Aku ingin berontak dengan sekuat tenaga.
Pertama, aku tidak tahu mengapa aku harus percaya.
Kedua, aku tidak mengerti, mengapa si perasa itu lenyap.
Ketiga, aku menyadari ketakutan mulai memelukku.
Adakah sesuatu yang mampu membuatku lega? Kapan?
Adakah jalan yang mampu membuatku melangkah? Di mana?
Adakah ia memperlihatkan sisinya yang katanya begitu manusiawi? Bagaimana mungkin?
Adakah keyakinan yang tercipta setelahnya? Seberap besar?
Adakah hal yang mampu menjelaskan SEMUA ini? Kenapa?
Aku menginginkan hari--tanpa terlewati.
Friday, February 27, 2009
Ketika rasa kosong itu membekap udara, aku tak kuasa bernapas. Ketika getaran itu memporak-poranda ruangan persegi itu, perasaanku lenyap. Mataku mencari hingga ke sudut-sudut ruangan, adakah setitik debu di sana? tanganku menggapai udara, lalu pikiranku bertanya; adakah jarak pemisah antara takdir dan nasib?
Tawa berdengung di telinga kanan dan kiriku. Umpatan sarkastis menggema hingga terpaksa masuk di sel-sel pengingat. Lalu setumpuk makian, sumpah-serapah, bersarang di suatu tempat, tak berucap, tak berujung, tak bermata.
Andai kata kepuasan adalah satu-satunya syarat untuk meraih kebahagiaan dan menghapus lubang menganga yang tercipta; maka pertanyaan satu=satunya yang tepat adalah; bagaimana?
******
Menghitung mundur… segalanya bermula.
September.
Oktober.
November.
Desember.
Januari.
Februari.
Tak pernahkah tiba-tiba kusadari bahwa bulan-bulan itu berjalan, namun banyak yang tertinggal, banyak yang terhapus, banyak yang terlupakan? Aku tahu, dan aku sadar.
Seseorang mendatangiku, lalu aku menyambutnya, lebih dari cukup. Seseorang lenyap, lalu aku merelakannya, lebih dari cukup. Apakah itu benar? Apakah itu harus? Apakah itu takdir? Ataukah itu nyata?
Kau tahu bahwa waktu berputar, entah cepat atau lambat, yang penting waktu berputar dan tak pernah berhenti, tak pernah mati. Lalu kau juga menyadari, seseorang datang dan pergi dalam hidupmu, tak peduli kau bahagia atau kau bersedih. Kau juga menyadari, hatimu adalah tempat di mana kau merasakan, rasa sedih, bahagia, sakit, menyesal, antusias, sombong, dan masih banyak lagi.
Tapi tak adakah yang tahu di mana penangkal dari segala rasa dan waktu? Kau memaksa menggunakan logikamu, berpikir, dan berpikir, namun tak ditemui jawabannya. Kemudian sesuatu selalu membuatmu lupa, dan kau menganggapnya kenangan. Begitukah caranya? Sekali lagi, waktu yang menyelesaikannya. Waktu. Lagi.
Jadi, tak pernahkah rasa ingin tahu itu berfungsi hingga waktu tak mampu membuat segalanya menyerah?
Sunday, February 8, 2009
Aku sadar sesuatu telah terhempas jauh ke belakang,
namun aku masih menginginkannya.
Aku sadar sesuatu itu telah hilang dari hatiku,
namun aku tak berani menghapusnya.
Hingga di sini kutemui antara rasa takjub dan bimbang,
bahwa tak pernah aku merasakan ini sebelumnya.
Kutelusuri alam pikiranku, bagaimana gambaran hari atau minggu berikutnya,
dan kemudian kudapati rangkaian pikiran yang seringan bulu.
Aku mencoba tersenyum, namun tersentak ketika gagal.
Friday, February 6, 2009
Apa kau merindukan aku?
Apa aku terlalu naif untuk berpikir demikian?
Apa sesungguhnya yang tercipta di alam bawah sadarmu?
Kekosongan atau bukan?
Apa yang memenuhi ruangan di sudut-sudut hatimu?
Sesuatu yang memandang jauh--ataukah sepercik api yang telah timbul dan menjadi ganas, di sini? di relung hati.
Hingga dingin pun tak bisa membeku dengan jujurnya.
Thursday, February 5, 2009
Aku menyadari tak selamanya keinginan akan terwujud.
Hahaha, mengertikah bahwa dunia memperlihatkan segala yang berwujud manis?
Dan semua itu menarik bibir untuk mencuat menciptakan senyuman, tawa.
Tapi semua membelenggu hati, mengeraskan untuk bertahan dan tetap kuat.
Lelahkah atas semua yang tercipta?
Aku melamun. Merenung.
Akh. Terlalu banyak.
Selalu terlalu banyak bahasa yang tercipta untuk menggambarkan sesuatu.
Tapi tak semua bahasa tepat untuk digunakan, tepat untuk menunjuk hati bahwa itulah yang ingin diutarakan.
Tidak semua. Nyaris tak ada malah.
Aku bingung bagaimana menggambarkan suasana hati.
Kuat. Tangguh. Bahagia. Merana.
Satu hal yang kutahu, sisa waktu tidak akan terlalu banyak lagi sekarang.
Bahasa yang ada bahkan tak cukup arti.
Kebimbangan berlanjut hingga keputusan diambil, tapi aku tak tahu kapan.
Kadang aneh juga mencari-cari si koleris. Entah bersembunyi di sudut yang mana.
Relung hati yang terdalam mengisyaratkan kemampuan melupakan.
Kemampuan lain yang kutemui adalah tersenyum, dan tangguh. :)
Thursday, January 29, 2009
Oh.. Ya ampun.
Hari ini kenapa kacau lagi, ya?
Kayaknya hampir tiap saat ngisi blog ni cuma pas lagi kumat aja deh.
Acara kemarin menarik.
Tapi banyak hati tercabik.
Bahkan di dalam kesenangan juga ada kesedihan, ya?
Aku gag tau apa yang perlu ditutupin lagi sekarang ini.
Cuma dia yang ngisi segala hari, mengubah dengan seenaknya suasana hati.
Aku gatel banget mau nulis namanya.
Hei, kemungkinan besar kamu gag tau ada blog ini.
Aku ngeliat kamu ketawa kemarin.
Aku ngerasa hatiku begitu miris ngeliatnya. Seenaknya aja km ketawa-ketawa.
Seenaknya aja km mulai percakapan gag langsung dan keliatannya sikap buruk sanguinmu muncul, ya?
Astaga. Gonna crazy.
Aku minta Tuhan kekuatan, tapi sepertinya Dia berminat ngasih aku kesempatan untuk kuat, ya? JAdi sebaiknya aku minta apa?
Semua yang pernah jadi kenangan muncul seenaknya, bahkan ketika aku MC di depan sana.
Kamu berdiri tepat di depan aku, kan? Kamu bisa ketawa dan... ah.
Aku sempet blank kemarin, seketika aku gag nyadar ada yang lempar pertanyaan dan aku diem tanpa jawaban. Gara-gara siapa?
Yeah. Gag da yg boleh bilang klo semua ini konyol banget. Nulis-nulis kayak gini. Emangnya kalian gag pernah ngerasain?
Aku tau semua permasalahan terlalu sepele di mata orang lain. Apa peduliku?
Tapi aku sadar aku marah, kalau kamu bagian dari orang-orang itu.
Karena aku tahu kamu sebegitu sialannya, yang mengira kalau km benar.
Kamu terlalu ikut campur.
Aku gag akan bilang gitu kalau kamu gag dengan seenaknya nyari aku untuk bls dndm.
Kamu kan gag pernah kenal aku.
Semuanya udah lewat.
Hei, kapan tahap ini akan terlewati? Karena kamu bakal pergi.
Friday, January 23, 2009
Aku berjuang di antara ketidakpastian. Aku berpikir, jika aku melakukan sesuatu, aku akan menemukan kenyataan yang lain. Ketika aku menemukan diriku berada di hari-hari sebelumnya, ketika aku menemukan diriku singgah di alam bawah sadar, aku menyadari bahwa tak semudah itu menghapus semua yang telah terjadi.
Tak jarang aku menemukan keputusan-keputusan, dan berbagai ralat yang lain. Mungkin, yang terjadi hanyalah sebuah pembalasan belaka, aku terlalu lelah untuk mencari-cari, dan aku tahu aku akan keluar.
Aku masih tetap dalam pikiranku--bahwa mengungkapkannya adalah yang terbaik. Mungkin aku tak pernah lega dengan ini, tapi, dengan mengurai semua rangkaian kata dalam benakku, aku merasa sedikit lebih baik. Itu harapanku.
Tak ada yang terjadi setelah ini. Ketika kaki ini melangkah dan menemukan derap langkah kaki yang lain dari arah yang berlawanan. Ketika mata ini tak sengaja berpaling tanpa diperintah.
Aku menikmati segala yang terjadi. Segala kepedihan yang rasanya menguras tenaga. Aku tertawa sendiri ketika melihat diriku di waktu yang telah lewat. Aku mencintai hidup dan tak ingin menderita.
Aku tahu aku tidak menderita. Aku tahu aku mempunyai mereka yang tulus sayang mencintaiku. Aku tahu, lebih dari tahu. Semua kejadian yang berlalu di dunia ini hanya permainan, sama seperti yang kualami.
Wednesday, January 21, 2009
Sebuah hasrat tak menentu mengetuk pintu hati yang paling dalam. Berada di perasaan yang terombang-ambing membuatku ingin cepat-cepat keluar, atau pergi. Aku menyesal. Benarkah? Sepertinya tidak.
Aku tak pernah mengerti sorot mata itu. Aku tak pernah melihat ke mana dia memandang. Aku berseru dalam hati, dan kutanya haruskah aku bersikap seperti ini? Karena tak pernah. Tak pernah ada gunanya.
Friday, January 16, 2009
Diam di antara musik dan tarian,
Lelap karena buaian kasih semata,
Terpesona karena indahnya tatapan,
Hancur, karena semuanya,
Mati, karena dendam,
Luka takkan pernah sirna.
Monday, January 12, 2009
Aku tak pernah menyangka awalnya akan terasa begitu menyakitkan. Selang beberapa hari, aku terus berpikir dan menduga-duga, namun aku tak bisa menemukan jawabamnya. Kupikir, dia tak pernah mengingatnya, sementara aku, ya. Sejauh itu, aku selalu terjebak dalam rasa bingung yang tiada batasnya, dan aku merana di dalamnya.
Aq menyalahkan diriku atas segala yang telah terjadi. Aku tidak tahu mengapa semuanya seperti ini, dan mengapa dia harus berbuat seperti itu. Aku ingat dia berkata bahwa hidup itu kejam, lalu setelah kejadian itu, aku selalu membenarkan perkataannya.
Kami jarang bertemu, kami juga belum mengenal satu sama lain. Berbagai acara mempertemukan kami, membuatku bertanya-tanya, apa alasan di balik ini semua. Kupikir, dengan mengulang semua kenangan ini, kenangannya akan menguap cepat ke udara, karena aku telah menceritakannya, dan aku tak butuh kenangan itu tinggal di dalam lagi.
Aku yakin setiap orang pernah merasakan sakit hati. Dulu aku tak mengerti mengapa orang-orang harus menangis ketika merasa sakit hati, dan bingung kalau aku sendiri lebih memilih sakit hati daripada sakit gigi. Sekarang, aku mengerti alasannya.
Aku mulai merasa mencintai seseorang ketika sudah ada orang yang harus kucintai dalam hidupku. Saat itu, dia membuat hatiku penuh dengan kebimbangan, dan segala kata tanya.
Ketika aku merasa genggaman tangannya, menatap matanya, aku sadar aku memikirkan orang yang lain, yang menurutku harus kucintai itu. Tidak, aku belum berpacaran saat itu, aku hanya menjalin hubungan yang kutahu--lebih dari sebatas teman.
Begitulah, dia hadir tiba-tiba, tanpa aku kenal siapa dia, dan dia memulai hubungan kami tidak sebagai teman. Kupikir, takkan wajar jika seseorang yang tak kau kenal, memegang tanganmu, berbicara dalam jarak yang cukup dekat dengan wajahmu, dan mengenggam tanganmu lagi saat nonton film di bioskop dengan teman-teman yang lain juga.
Itulah yang dia lakukan padaku. Aku bertanya-tanya mengapa aku tidak mengelak saat dia menggenggam tanganku--aku merasa saat itu aku ingin tak peduli pada apa pun, bahwa aku membutuhkan orang ini.
Hari itu, kupikir adalah awal sekaligus akhir. Kupikir, saat itu dia tak akan maruk ke kehidupanku lagi, dan kami menjalani hari-hari sama seperti sebelumnya. Tapi ternyata tidak, aku mulai menemukan kilasan-kilasan wajahnya dalam pikiranku, dan aku semakin penasaran.
Aku tak berani--atau lebih tepatnya--aku tak mau memastikan bahwa rasa suka akan muncul secepat itu padahal dia belum mengenal aku sama sekali.
Aku tak pernah mengaku suka pada siapa pun, tapi aku tahu aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Lalu, kejadian yang sama terulang lagi--tapi kali ini jauh lebih pasti, dan aku tak berani mengira itu kebetulan saja.
Aku merasakan detak jantungku semakin cepat ketika aku menemukan sorot matanya. Aku mulai memikirkannya walau aku melarang diriku. Aku menginginkan waktu yang lebih lama bersamanya, selama apa pun itu.
Aku menyukai segala cara dan apa pun yang dia lakukan. Kuputuskan, bahwa aku menyukainya. Aku tidak mau meneruskan kejanggalan ini tanpa menanyakan apa sebabnya.
Tapi ketika aku mulai bertanya 'kenapa', segala hal yang di luar perkiraanku, muncul ke permukaan. Dia bilang padaku bahwa perlakuannya selama ini hanyalah semacam perbuatan balas dendam. Dia juga bilang kalau dirinya telah kalah, dan aku menang--aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.
Ketika mengetahui jawaban itu, aku tak bisa menemukan di mana diriku berada. Hatiku begitu kalut dan aku masih setengah mati penasaran. Tapi aku tahu, aku tak pernah menemukan jawabannya--hingga kini.
Aku menemukan diriku di antara batas sadar atau tidak, beberapa minggu setelahnya. Teman-temanku bertanya apa yang dia lakukan padaku dan mengapa aku harus rapuh seperti ini.
Aku sendiri tak tahu. Aku menolak untuk bercerita karena aku tahu, semakin banyak aku mengulang, aku akan merasa semakin tidak lebih baik. Aku menginginkan penyelesaian dan balas dendam lagi, tapi itu tidak mungkin.
Aku merasa bahwa dia tidak benar-benar balas dendam, karena dia tidak mau berusaha menyakitiku lebih dalam lagi. Hari-hari itu aku menertawakan semua yang telah terjadi, aku begitu kacau dan aku tak tahu kenapa cinta mengatur hidup seseorang.
Hari ini, kuputuskan untuk memaafkannya.